12 Oktober 2012

#17an Pajak dan Zakat 2: memaknai pajak

Pajak dan zakat sering dibandingkan, disandingkan dan diperdebatkan. Perlukah bayar pajak sementara zakat sudah ditunaikan. Atau, bolehkah bayar pajak sekaligus diniatkan sebagai pelunasan zakat? Secara kebetulan, dalam satu seminar di Asrama Haji Donohudan dalam rangkaian acara harlah  GP Anshor, akhir Juli yang lalu,  dibicarakan satu topik tentang pajak dan zakat. ada yang menarik dari apa yang disampaikan oleh salah seorang pembicara waktu itu, Rois Syuriah PBNU, K.H. Masdar Farid Mas’udi. Kiai Masdar menyampaikan antara lain, bahwa zakat seharusnya dijadikan landasan etika dalam pengelolaan pajak; pengumpulan dan penggunaannya. Yaitu, pajak semestinya dikelola sebagaimana dulu, Rasulullah dan Khalifa Ar-Rasyidin, mengelola zakat. Sebagai ilustrasi tentang penggunaan uang pajak, Kiai Masdar menjelaskan bahwa di dalam Qur'an ada delapan golongan masyarakat yang berhak atas penggunaan dana zakat. Dari delapan golongan tadi, enam diantaranya adalah kelompok masyarakat, yang secara ekonomi, terpinggirkan. Semangat pengelolaan pajak, dapat dipahami sebagai zakat dalam konteks sekarang, harusnya juga demikian. Penggunaan dana pajak harus lebih banyak (enam per delapan) digunakan untuk kepentingan kelaompok-kelompok masyarakat yang kurang mampu. Inilah semangat untuk menciptakan sistim masyarakat yang berkeadilan sosial.

Tertarik dengan topik yang disampaikan Kiai Masdar, namun tak terlalu jelas mengikuti waktu di seminar, iseng saya mencoba googling di Internet. Dengan bantuan Google ketahuan bahwasannya topik pajak dan zakat seperti disampaikan oleh Pak Kiai ini adalah topik lama. Bahkan Pak Kiai Masdar pernah menulis satu buku tentang itu. Tahun 1991! Agar lebih paham apa yang dimaksud Kaia masdar, saya coba untuk mendapatkan buku. Dapat, beli lewat toko online. Di dalam buku yang diberi Kata Pengantar oleh Gus Dur ini, dijelaskan tentang bagaimana masyarakat (penguasa dan rakyat) memaknai pajak. Makna yang diberikan pada pajak yang dibayar rakyat akan menentukan bagaimana pola hubungan antara penguasa dan rakyatnya.

Pertama, pajak dimaknai sebagai upeti. karena dianggap atau dimaknai sebagai upeti, uang pajak diklaim sebagai milik penguasa selaku pemungut upeti. Penggunaan uang upeti yang ditarik dari rakyat sepenuhnya tergantung pada kemauan penguasa, yang menganggap dirinya sebagai wakil Tuhan di dunia. Hatta, kalau sebagian besar, atau bahkan seluruh uang pajak dihabiskan untuk memuaskan kepentingan penguasa, termauk sanak kerabatnya, rakyat tidak punya hak untuk protes. Paling-paling hanya sebatas mengeluh dalam hati. Beruntung, kalau penguasa yang menjalankan pemerintahan memberi perhatian pada rakyatnya, yakni mengalokasikan uang pajak untuk kepentingan rakyatnya. Penguasa atau negara atau masyarakat yang memaknai pajak dengan konsep seperti ini adalah masayarakat feodal.  

Kedua, pajak dimaknai sebagai imbal jasa. berbeda dengan konsep yang pertama, dalam konsep ini mulai ada imbal jasa atas pajak yang dibayar oleh rakyat. Rakyat yang membayar pajak akan memperoleh sesuatu yang diberikan oleh penguasa karena adanya tuntutan dari kelompok masyarakat pembayar pajak. Kesadaran akan manfaat apa yang diperoleh dari pajak yang dibayar mulai tumbuh di kalangan pembayar pajak, yang adalah kelompok masyarakat kaya. Penguasa, untuk menghindari benturan dengan kelompk kaya ini, membuat kesepakatan dengan pambayar pajak yaitu memberikan konsesi-konsesi kepada para orang kaya. Inilah yang disebut dengan konsep negara atau masyarakat kapitalis.

Ketiga, pajak dimaknai sebagai zakat. Yaitu, pajak dikelola dengan semangat dan etika sebagaimana dulu rasulullah dan khalifah mengelola zakat. Zakat dikelola sebagai sarana untuk mewujudkan masyarakat yang berkeadilan sosial.Untuk mewujudkan ini, menurut Kiai Masdar, perlu adanya revolusi dalam memaknai pajak, yakni: (1) bahwa pada dasarnya yang berhak memungut pajak adalah Allah, Sang Pemberi rizki melalui kekayaan alam semesta maupun kreativitas yang dianugerahkan kepada manusia. Jadi pemungutan pajak harus dimaknai sebagai pelaksanaan perintah Tuhan dalam menegakkan keadilan bagi sesama manusia; (2) bahwa mereka yang dianggap mampu, wajib membayar pajak (sebagai sedekah- zakat) dengan penuh kejujuran dan keikhlasan untuk memenuhi tanggung jawab sosial mereka kepada sesama, sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur atas rizki yang dianugrahkan Allah kepadanya; (3)  bahwa terhadap uang pajak, posisi Pemerintah bukan sebagai pemilik melainkan hanya sebagai Amil (pengurus dan pelaksana amanat) untuk memungut dan mengelola sesuai dengan prinsip yang digariskan Tuhan, yaitu segala macam pajak yang dipungutnya adalah untuk kepentingan segenap rakyat terutama yang lemah dan untuk mewujudkan kemaslahatan bersama (keadilan sosial) apa pun agama dan keyakinannya; (4) sebagai Amil, Pemerintah harus dapat mempertanggungjawabkan setiap rupiah dari uang Pajak kepada segenap rakyat di dunia, dan kepada Tuhan di akhirat kelak.

Kira-kira, termasuk di manakah konsep atau makna yang kita berikan pada sistim perpajakan kita? Jawabnya terletak pada apakah hasil pungutan pajak yang kita kumpulkan telah dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat? Kalau belum, barangkali kita masih memaknai pajak sebagai upeti, terlepas betapa modernnya administrasi pajak kita, baik dari sisi organisasi, pengelolaan SDM atau teknologi yang kita gunakan.

Lalu, bagaimanakah negara yang tidak mengenakan pajak pada rakyatnya? Menurut Kiai Masdar, ini tipe keempat, negara tanpa pajak. Diberikan sedikit contoh negara yang bisa hidup tanpa bergantung pada pajak rakyatnya seperti negera komunis ortodok dan negara kerajaan absolut dimana sumber kakayaannya yang utama dianggap sebagai milik sang raja dan keluarganya. Namun sejarah membuktikan, negara komunis ortodoks sudah gulung tikar (dan menyusul kemudian kerajaan absolut?). Kenapa demikian? ​Negara tanpa pajak menyalahi fitrah-nya karena negara "jenis ini tidak menganggap rakyat sebagai stakeholder dalam penentuan kebijakan-kebijakannya. Alasannya sederhana, rakyat tidak memberi apa-apa untuk jalannya roda kekuasaan dan pemerintahan. Rakyat hanyalah orang-orang yang numpang hidup yang musti tunduk pada penguasa", sebuah konsep yang  ingin dikoreksi dengan ajaran zakat sebagai landasan spiritual dan moral pemungutan pajak. Melalui pajak (zakat) rakyat dapat meneguhkan hak-haknya terhadap penguasa, sehingga penguasa menjalankan kekuasaannya dengan mendengar aspirasi dan untuk kepentingan rakyat. Sehingga dapat dikatakan berpajak (berzakat) sebenarnya merupakan inti dari hidup bernegara.

Allahu a'lam.




Tidak ada komentar: