19 September 2012

#17an Peningkatan Kepatuhan untuk Pajak yang Berkeadilan



'...dan janganlah rasa bencimu kepada satu kaum mencegahmu dari berbuat adil' [quran]

Adam Smith (1723-1790) dalam Wealth of Nations menjelaskan tentang empat asas dalam pemungutan pajak; (1) keadilan, (2) kepastian, (3) kemudahan pembayaran, dan (4) efisien. Asas keadilan dalam penungutan pajak bermakna tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak, dalam kondisi yang sama, wajib pajak harus dikenai pajak yang sama. Asas kepastian berarti bahwa pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak musti jelas besaran dan saat terutangnya. Sementara, asas kemudahan pembayaran menekankan bahwa pajak hendaknya dikenakan saat wajib pajak tersebut mempunyai kemampuan terbaik untuk membayarnya: saat diterimanya penghasilan. Dan, asas efisien menghendaki proses pemungutan pajak oleh pemerintah hendaknya dilakukan dengan biaya seminimal mungkin.

Terkait dengan asas keadilan dalam pemungutan pajak, dapat dikatakan bahwa wajib pajak dengan penghasilan yang lebih besar akan membayar pajak yang lebih besar. Demikian sebaliknya, wajib pajak yang tidak mempunyai penghasilan tidak akan membayar pajak.

Apabila dilihat dari jenis pajaknya, maka semestinya pajak langsung (pajak atas penghasilan, PPh) yang dibayar oleh wajib pajak akan lebih besar dari pada pajak tidak langsung (pajak atas konsumsi, PPn/PPnBM). Karena, selain tarif pajak atas penghasilan yang umumnya lebih tinggi, cakupan basis pajak langsung juga lebih besar. Dan, lebih besarnya peran pajak langsung (PPh) atas pajak tidak langsung (PPN/PPnBM) juga akan lebih kena dari sisi rasa keadilan. Pihak-pihak yang berpenghasilan lebih dan berkemampuan lebih, sudah selayaknya menanggung beban yang lebih besar.

Pertanyaannya, sudah idealkah postur penerimaan pajak kita?

Postur Penerimaan Pajak
Data menunjukkan bahwa kondisi yang ada belum mencerminkan pemungutan pajak belum berada pada posisi ideal. Sebagai gambaran dapat dilihat data penerimaan pajak seperti yang tercantum dalam Laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Secara ringkas, data penerimaan pajak 2007-2011 dapat disajikan sebagai berikut:
Dalam kurun waktu lima tahun tersebut, penerimaan pajak dalam negeri tumbuh dari Rp470 triliun pada 2007 menjadi Rp831 trilun di 2011. Selama kurun waktu tersebut, penerimaan PPh berkisar 52% dari total penerimaan Pajak Dalam Negeri. Sementara, penerimaan PPN/PPnBM sekitar 34% dari total penerimaan pajak dalam negeri dan mencapai sekitar 65% penerimaan PPh. Data ini cukup menunjukkan bahwa penerimaan pajak kita, sejauh ini, lebih bertumpu pada pajak tidak langsung. Meski nilai Rupiah PPN/PPnBM lebih kecil, tetapi penerimaan PPN/PPnBM cukup signifikan, di atas 60% penerimaan PPh dan porsinya cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

Pertanyaan berikutnya, berapa perbandingan ideal antara penerimaan pajak langsung dengan pajak tidak langsung. Memang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji hal ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di negara dengan administrasi pajak yang lebih maju, penerimaan pajak didominasi oleh pajak langsung.
 
Kepatuhan Pajak
Berdasarkan gambaran singkat tentang postur penerimaan pajak di atas, dapat dilihat kemungkinan adanya masalah ketimpangan, dimana wajib pajak yang seharusnya membayar pajak lebih besar, tetapi tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar. Dengan kata lain, ada masalah ketidakpatuhan pajak yang secara langsung menimbulkan masalah ketidakadilan.

OECD (2004) mendefinisikan ketidakpatuhan pajak sebagai risiko yang dihadapi oleh satu administrasi pajak berupa pajak yang tidak dapat ditarik dari wajib pajak karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan perpajakan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar. Risiko inilah yang biasa disebut dengan risiko kepatuhan pajak. Untuk efisiensi dan efektivitas operasional, administrasi perpajakan seharusnya dapat mengidentifikasi risiko ini sehingga dapat merumuskan strategi-strategi yang akan digunakan untuk menangkal munculnya risiko kepatuhan pajak.

Untuk dapat memerangi ketidakpatuhan langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali adanya gejala-gejala (symptoms) ketidakpatuhan. Kesenjangan penerimaan pajak antara pajak langsung dengan pajak tidak langsung seperti diuraikan di atas dapat dilihat sebagai gejala adanya ketidakpatuhan. Penanganan yang tidak memadai terhadap gejala ketidakpatuhan ini dapat berakibat negatif dalam jangka panjang karena akan muncul persepsi di wajib pajak bahwa ada insentif bagi ketidakpatuhan. Hal ini dapat mendorong wajib pajak patuh untuk menjadi tidak patuh.

Visi Kepatuhan vs. Visi Pencapaian Target
Masalah kepatuhan sudah semestinya menjadi isu utama yang harus diperhatikan oleh lembaga administrasi pajak. Setiap kebijakan yang yang ditempuh administrasi pajak,  seharusnya mengarah pada bagaimana meningkatkan kadar kepatuhan pajak masyarakat. Ini bisa dilakukan antara lain dengan melakukan edukasi yang terstruktur, konsisten dan berkelanjutan tentang mengapa perlu dan bagaimana pentingnya membayar pajak. Ini dapat dilakukan dengan, misalnya, menjadikan pendidikan tentang pajak sebagai bagian dari kurikulum pendidikan dasar untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran akan pajak kepada masyarakat sejak usia dini.

Untuk bisa meningkatkan kadar kepatuhan pajak dengan baik, tampaknya perlu ada perubahan paradigma di dalam administrasi pajak (DJP): dari paradigma pencapaian target penerimaan menjadi paradigma bagaimana meningkatkan kepatuhan pajak. Penerimaan pajak harus dilihat sebagai dampak dari terbentuknya kepatuhan pajak. Tentu saja, upaya peningkatan kepatuhan pajak ini merupakan langkah jangka panjang. Hasil dari berbagai usaha peningkatan kepatuhan bisa jadi belum dapat dilihat dalam waktu dekat dan memerlukan proses yang lama sampai terbentuknya 'masyarakat yang sadar dan peduli pajak'.

Penyadaran dan peningkatan kepatuhan melalui berbagai kegiatan edukasi harus dimulai karena, bisa jadi, rendahnya tingkat kepatuhan pajak saat ini merupakan buah kegagalan kita untuk melakukan proses edukasi ini di masa lampau. Sebuah kegagalan yang tidak perlu diulang! Lebih penting lagi, pemungutan pajak yang memrioritaskan terbentuknya iklim kepatuhan pajak lebih memenuhi prinsip keadilan. Karena dalam iklim kepatuhan pajak yang baik setiap orang akan membayar pajak sesuai dengan kewajibannya menurut ketentuan yang ada.


Keberhasilan memulai sebuah proses edukasi yang berkelanjutan hari ini, akan menjadi bekal keberhasilan pemungutan pajak yang sesuai dengan prinsip pemungutan pajak yang berkeadilan di masa mendatang. Bagaimanapun juga, sebuah sistem perpajakan yang dirasakan memenuhi prinsip keadilan akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat pembayar pajaknya; sebuah sistem perpajakan yang berkeadilan! Dan, adil itu lebih dekat pada ridha Tuhan.



Tidak ada komentar: