'...dan
janganlah rasa bencimu kepada satu kaum mencegahmu dari berbuat adil' [quran]
Adam Smith
(1723-1790) dalam Wealth of Nations menjelaskan tentang empat asas dalam
pemungutan pajak; (1) keadilan, (2) kepastian, (3) kemudahan pembayaran, dan
(4) efisien. Asas keadilan dalam penungutan pajak bermakna tidak boleh ada
diskriminasi dalam pemungutan pajak, dalam kondisi yang sama, wajib pajak harus
dikenai pajak yang sama. Asas kepastian berarti bahwa pajak yang harus dibayar
oleh wajib pajak musti jelas besaran dan saat terutangnya. Sementara, asas
kemudahan pembayaran menekankan bahwa pajak hendaknya dikenakan saat wajib
pajak tersebut mempunyai kemampuan terbaik untuk membayarnya: saat diterimanya
penghasilan. Dan, asas efisien menghendaki proses pemungutan pajak oleh
pemerintah hendaknya dilakukan dengan biaya seminimal mungkin.
Terkait dengan asas keadilan dalam pemungutan pajak, dapat dikatakan bahwa wajib pajak dengan penghasilan yang lebih besar akan membayar pajak yang lebih besar. Demikian sebaliknya, wajib pajak yang tidak mempunyai penghasilan tidak akan membayar pajak.
Apabila dilihat dari jenis pajaknya, maka semestinya pajak langsung (pajak atas penghasilan, PPh) yang dibayar oleh wajib pajak akan lebih besar dari pada pajak tidak langsung (pajak atas konsumsi, PPn/PPnBM). Karena, selain tarif pajak atas penghasilan yang umumnya lebih tinggi, cakupan basis pajak langsung juga lebih besar. Dan, lebih besarnya peran pajak langsung (PPh) atas pajak tidak langsung (PPN/PPnBM) juga akan lebih kena dari sisi rasa keadilan. Pihak-pihak yang berpenghasilan lebih dan berkemampuan lebih, sudah selayaknya menanggung beban yang lebih besar.
Pertanyaannya,
sudah idealkah postur penerimaan pajak kita?
Postur Penerimaan Pajak
Data
menunjukkan bahwa kondisi yang ada belum mencerminkan pemungutan pajak belum berada
pada posisi ideal. Sebagai gambaran dapat dilihat data penerimaan pajak seperti
yang tercantum dalam Laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Secara ringkas, data
penerimaan pajak 2007-2011 dapat disajikan sebagai berikut:
Dalam
kurun waktu lima tahun tersebut, penerimaan pajak dalam negeri tumbuh dari
Rp470 triliun pada 2007 menjadi Rp831 trilun di 2011. Selama kurun waktu
tersebut, penerimaan PPh berkisar 52% dari total penerimaan Pajak Dalam Negeri.
Sementara, penerimaan PPN/PPnBM sekitar 34% dari total penerimaan pajak dalam
negeri dan mencapai sekitar 65% penerimaan PPh. Data ini cukup menunjukkan bahwa
penerimaan pajak kita, sejauh ini, lebih bertumpu pada pajak tidak langsung.
Meski nilai Rupiah PPN/PPnBM lebih kecil, tetapi penerimaan PPN/PPnBM cukup signifikan,
di atas 60% penerimaan PPh dan porsinya cenderung meningkat dari tahun ke
tahun.
Pertanyaan
berikutnya, berapa perbandingan ideal antara penerimaan pajak langsung dengan
pajak tidak langsung. Memang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk
mengkaji hal ini. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa di negara dengan
administrasi pajak yang lebih maju, penerimaan pajak didominasi oleh pajak
langsung.
Kepatuhan Pajak
Berdasarkan
gambaran singkat tentang postur penerimaan pajak di atas, dapat dilihat
kemungkinan adanya masalah ketimpangan, dimana wajib pajak yang seharusnya
membayar pajak lebih besar, tetapi tidak melaksanakan kewajibannya dengan
benar. Dengan kata lain, ada masalah ketidakpatuhan pajak yang secara langsung
menimbulkan masalah ketidakadilan.
OECD
(2004) mendefinisikan ketidakpatuhan pajak sebagai risiko yang dihadapi oleh
satu administrasi pajak berupa pajak yang tidak dapat ditarik dari wajib pajak
karena wajib pajak tidak mematuhi ketentuan perpajakan sehingga ada pajak
terutang yang tidak dibayar. Risiko inilah yang biasa disebut dengan risiko kepatuhan
pajak. Untuk efisiensi dan efektivitas operasional, administrasi perpajakan
seharusnya dapat mengidentifikasi risiko ini sehingga dapat merumuskan
strategi-strategi yang akan digunakan untuk menangkal munculnya risiko
kepatuhan pajak.
Untuk
dapat memerangi ketidakpatuhan langkah pertama yang harus dilakukan adalah
mengenali adanya gejala-gejala (symptoms)
ketidakpatuhan. Kesenjangan penerimaan pajak antara pajak langsung dengan pajak
tidak langsung seperti diuraikan di atas dapat dilihat sebagai gejala adanya
ketidakpatuhan. Penanganan yang tidak memadai terhadap gejala ketidakpatuhan
ini dapat berakibat negatif dalam jangka panjang karena akan muncul persepsi di
wajib pajak bahwa ada insentif bagi ketidakpatuhan. Hal ini dapat mendorong
wajib pajak patuh untuk menjadi tidak patuh.
Visi Kepatuhan vs. Visi Pencapaian
Target
Masalah
kepatuhan sudah semestinya menjadi isu utama yang harus diperhatikan oleh lembaga
administrasi pajak. Setiap kebijakan yang yang ditempuh administrasi pajak, seharusnya mengarah pada bagaimana
meningkatkan kadar kepatuhan pajak masyarakat. Ini bisa dilakukan antara lain
dengan melakukan edukasi yang terstruktur, konsisten dan berkelanjutan tentang
mengapa perlu dan bagaimana pentingnya membayar pajak. Ini dapat dilakukan
dengan, misalnya, menjadikan pendidikan tentang pajak sebagai bagian dari
kurikulum pendidikan dasar untuk memberikan pengetahuan dan kesadaran akan
pajak kepada masyarakat sejak usia dini.
Untuk bisa meningkatkan kadar kepatuhan pajak dengan baik, tampaknya perlu ada perubahan paradigma di dalam administrasi pajak (DJP): dari paradigma pencapaian target penerimaan menjadi paradigma bagaimana meningkatkan kepatuhan pajak. Penerimaan pajak harus dilihat sebagai dampak dari terbentuknya kepatuhan pajak. Tentu saja, upaya peningkatan kepatuhan pajak ini merupakan langkah jangka panjang. Hasil dari berbagai usaha peningkatan kepatuhan bisa jadi belum dapat dilihat dalam waktu dekat dan memerlukan proses yang lama sampai terbentuknya 'masyarakat yang sadar dan peduli pajak'.
Penyadaran
dan peningkatan kepatuhan melalui berbagai kegiatan edukasi harus dimulai
karena, bisa jadi, rendahnya tingkat kepatuhan pajak saat ini merupakan buah
kegagalan kita untuk melakukan proses edukasi ini di masa lampau. Sebuah
kegagalan yang tidak perlu diulang! Lebih penting lagi, pemungutan pajak yang
memrioritaskan terbentuknya iklim kepatuhan pajak lebih memenuhi prinsip
keadilan. Karena dalam iklim kepatuhan pajak yang baik setiap orang akan
membayar pajak sesuai dengan kewajibannya menurut ketentuan yang ada.
Keberhasilan
memulai sebuah proses edukasi yang berkelanjutan hari ini, akan menjadi bekal
keberhasilan pemungutan pajak yang sesuai dengan prinsip pemungutan pajak yang
berkeadilan di masa mendatang. Bagaimanapun juga, sebuah sistem perpajakan yang
dirasakan memenuhi prinsip keadilan akan mendapat dukungan penuh dari
masyarakat pembayar pajaknya; sebuah sistem perpajakan yang berkeadilan! Dan,
adil itu lebih dekat pada ridha Tuhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar