28 Juli 2010

Bhineka Tunggal Ika dari Negeri Andalusia

Laporan ‘Gaya Hidup’ Majalah Berita Mingguan Tempo edisi 26 juli-1 Agustus 2010 menyajikan artikel menarik tentang sisi sejarah Spanyol dan perannya dalam prestasi sepak bola negara tersebut, juara dunia sepak bola 2010. Artikel itu menggambarkan bagaimana tingginya rasa kesukuan di kalangan etnis yang ada di negara para matador itu, yang juga merasuk ke dalam tubuh para pemain timnas sepakbolanya. Fanatisme kesukuan itu antara lain ditunjukkan oleh Xavi Hernandez dan Carlos Puyol, dua pilar utama Timnas Spanyol dan FC Barcelona, yang kebetulan berasal dari etnis Catalan atau Catalonia, satu kelompok etnis yang tinggal di bagian timur laut Spanyol dengan Kota Barcelona sebagai pusatnya. Alih-alih merentang bedera nasional Spayol, Xavi dan Puyol justru merentang dan mencium bendera Catalonia ketika menuruni tangga pesawat sepulangnya dari Afrika Selatan. Hal serupa juga dilakukan oleh Xabi Alonso ketika Timnas Spanyol memenangi Piala Eropa dua tahun berselang. Tapi, Xabi melakukan hal yang sama pada bendera Basque, kelompok etnis di bagian utara Spanyol di mana Xabi berasal.

Pada perayaan keliling kota Madrid, kota yang menjadi ibukota Spanyol sekaligus kelompok etnis Castillia, para pemain dari berbagai kelompok etnis mengibarkan bendera dan berbagai atribut etnis mereka masing-masing. Di pinggir jalan, jutaan rakyat Spanyol menyambut mereka dengan kibaran bendera nasional Spanyol. Dan, Raja Juan Carlos serta PM Jose Luis Rodriguez Zapatero tampak membiarkan saja model ‘pembangkangan’ yang dilakukan oleh para pemain Timnas Spanyol itu. Memang, kali ini, Timnas Spanyol diisi dengan pemain-pemain dari semua kelompok etnis yang ada di Negeri Spanyol itu. Total jenderal, ada tujuh pemain dari etnis Catalan, enam dari Castilia, tiga dari Basque, tiga dari Andalusia, dua dari Kepulauan Canari dan seorang pemain masing-masing dari kelompok etnis Asturia dan Valencia yang direkrut oleh pelatih Vicente Del Bosque, seorang Castilia dan eks pemain dan pelatih Real Madrid. "Skuad Spanyol terdiri atas pemain yang berasal dari semua wilayah, namun kami adalah satu kesatuan," demikian ungkap Del Bosque. Kebijakan serupa juga ditempuh oleh pelatih terdahulu yang membawa Spanyol memenangi Piala Eropa, Luis Aragones. Dan asal tahu saja, kebijakan demikian tidak dilakukan oleh pelatih-pelatih Timna Sapnyol sebelumnya.

Para pelatih Spanyol terdahulu, banyak yang mengeksploitasi rasa kesukuan ini ke dalam rejim kepelatihannya; lebih memilih pemain-pemain dari kelangan etnis yang sama dengan etnis sang pelatih. Ini pula yang ditengarai menjadi penyebab mengapa Spanyol lebih banyak mengalami kegagalan dalam kompetsisi internasional, seperti Piala Dunia dan Piala Eropa, meski banyak pemain top dan klub dengan prestasi luar biasa. Javier Clemente, misalnya, pelatih Timnas Spanyol saat menjadi tuan rumah Piala Dunia 1982, lebih banyak menggunakan pemain dari kelompok etnis Basque, kelompok dia berasal. Kebijakan dengan rasa dasar rasa kesukuan yang demikian sudah pasti berdampak jelek bagi kekompakan tim di tempat latihan dan di lapangan dan tentunya prestasi. Pemain Madrid, misalnya, akan mencemooh pemain Barcelona yang membuat kesalahan dan berlaku juga sebaliknya. Bahkan bintang sekelas Raul Gonzalespun, Castilia, dikabarkan tidak terlepas dari pengaruh buruk fanatisme kesukuan ini ketika bermain di Timnas Spanyol. Beberapa pemain bintang, bahkan menolak ikut gabung timnas karena alasan kesukuan ini: mereka enggan membela Spanyol!

Menarik untuk membaca sebentar sejarah Spanyol, hingga menimbulkan fanatisme kesukuan yang demikian kental ini. Syahdan, berawal dari perang saudara di Spanyol yang terjadi di tahun 1936-1939, antara kelompok republikan dan nasionalis, yang dimenangi oleh kelompok nasionalis pimpinan Jenderal Franco. Franco kemudian menjadikan Castilia dengan Madrid sebagai pusat gerakan dan menjadikan Bahasa Castilia menjadi bahasa nasional dan dikenal sebagai bahasa Spanyol. Orang-orang catalan, kemudian menjadikan Klub Barcelona sebagai simbol perlawanan terhadap Franco yang adalah suporter fanatik Real Madrid. Dari sini kita paham, mengapa duel el classico antara Madrid lawan Barcelona menjadi pertandingan yang begitu panas dan klasik. Atau, Pep Guardiola, eks pemain dan sekarang pelatih Barcelona yang asli Catalan, lebih sering menggunakan Bahasa Catalan dan menolak bicara dalam Bahasa Spanyol saat melakukan konferensi pers tiap usai pertandingan Barcelona. Atau, kenapa klub macam Real Sociedad dan Athletico Bilbao mengharuskan pemainnya berdarah Basque!

Sekat-sekat kesukuan telah merusak prestasi Timnas Sepakbola ketika fanatisme-nya masuk ke ruang ganti pemain. Karena, bagaimanapun sepak bola merupakan permainan kelompok, yang menjadikan kekompakan antara pemainnya dan setiap unsur yang terlibat di dalamnya sebagai prasyarat utama dalam meraih prestasi. Luis Aragones dan Del Bosque telah memberikan pelajaran dan bukti tentang pentingnya kekompakan di tengah sekat-sekat perbedaan yang kuat ini: bhineka tunggal ika yang dipraktikan dan bukan sekedar slogan. Gol kemenangan Spanyol atas Belanda dicetak oleh Iniesta, pemain dari etnis Castilia yang sejak kecil direkrut oleh raksasa Catalan, Barcelona, setelah menerima assist dari Fabregas, produk Barcelona yang lain. Bagaimana dengan kita, pemilik slogan bhineka tunggal ika? Tampaknya kita perlu belajar dari Spanyol, negerinya Ibnu Rusyd (Averose) dan Ibnu Sina (Avecina), negeri dari mana cahaya bagi Eropa berasal, Andalusia!

Tidak ada komentar: