16 November 2009

Peningkatan Kepatuhan untuk Pajak yang Berkeadilan

Peningkatan Kepatuhan untuk Pajak yang Berkeadilan
'...dan janganlah rasa bencimu kepada satu kaum mencegahmu dari berbuat adil' [quran]

1. Pendahuluan

Adam Smith (1723-1790) dalam Wealth of Nations menjelaskan tentang empat asas dalam pemungutan pajak, yaitu: (1) keadilan (equality), (2) kepastian; (3) kemudahan pembayaran, dan (4) efisien. Asas keadilan dalam penungutan pajak mengandung makna bahwa tidak boleh ada diskriminasi dalam pemungutan pajak, dalam keadaan yang sama wajib pajak harus dikenai pajak yang sama pula. Asas kepastian berarti bahwa pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak musti jelas besaran dan saat permbayarannya. Sementara asas kemudahan pembayaran menekankan bahwa pajak hendaknya dikenakan kepada wajib pajak pada saat wajib pajak tersebut mempunyai kesempatan terbaik untuk mampu membayarnya, yaitu pada saat diterimanya penghasilan. Dan, asas efisien menghendaki proses pemungutan pajak yang dilakukan oleh pemerintah hendaknya dilakukan dengan biaya seminimal mungkin.
Dalam kaitannya dengan asas keadilan dalam pemungutan pajak, dapat disimpulkan bahwa wajib pajak dengan penghasilan yang lebih besar akan membayar pajak yang lebih besar. Demikian sebaliknya, wajib pajak yang tidak mempunyai penghasilan tidak akan membayar pajak.

Apabila dilihat dari jenis pajaknya, maka semestinya pajak langsung (pajak atas penghasilan) yang dibayar oleh wajib pajak akan lebih besar dari pada pajak tidak langsung (pajak atas konsumsi, PPn/PPnBM). Hal ini disebabkan, selain karena masalah tarif pajak atas penghasilan yang umumnya lebih tinggi juga disebabkan oleh lebih besarnya cakupan basis pajak langsung. Dan, lebih besarnya peran pajak langsung (PPh) atas pajak tdak langsung (PPN/PPnBM) juga akan lebih kena dari sisi rasa keadilan. Pihaj-pihak yang berpenghasilan lebih dan berkemampuan lebih, sudah selayaknya menanggung beban yang lebih besar.

Pertanyaannya adalah apakah dalam praktiknya kondisi yang ada sudah sesuai dengan keadaan ideal yang demikian?

Data menunjukkan bahwa kondisi yang ada belum mencerminkan bahwa pemungutan pajak belum menuju ke arah yang ideal. Sebagai gambaran dapat dilihat data penerimaan pajak seperti yang tercantum dalam Laporan Badan Pusat Statistik (BPS). Secara ringkas, data Laporan tersebut dapat disajikan sebagai berikut:

Tahun 2005, jumlah penerimaan pajak dalam negeri Rp331,595 miliar terdiri dari PPh sebesar Rp175,380 miliar (52,9%) dan PPN/PPnBM sebesar Rp101,295 miliar (30,5%). Pada tahun 2006, jumlah penerimaan pajak dalam negeri mencapai Rp395,784 miliar dimana sebesar Rp 208,834 miliar adalah setoran PPh (52,8%) dan Rp123,028 miliar (31,1%) merupakan PPN/PPnBM. Di tahun 2007, penerimaan pajak dalam negeri mencapai Rp494,592 miliar terdiri dari PPh Rp261,698 miliar (52,9%) dan PPN/PPnBM Rp161,044 miliar (32,6%).

Sepintas, nilai rupiah penerimaan PPh, yang merupakan pajak langsung, kelihatan lebih besar dari pada penerimaan PPn/PPnBM, pajak tidak langsung. Akan tetapi, secara relatif, capaian penerimaan PPN/PPnBM relatif  besar dibandingkan dengan penerimaan pajak PPh. Kecenderungan yang terjadi, persentase penerimaan PPN/PPnBM justru meningkat dari tahun ke tahun.

Menjadi pertanyaan berikutnya adalah, berapa ukuran ideal perbandingan antara penerimaan pajak langsung dengan pajak tidak langsung. Memang, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengkaji hal ini. tetapi secara ringkas, dengan ketentuan perpajakan yang berlaku di Indonesia, dimana tarif PPh untuk wajib pajak badan usaha adalah 28% dan tarif PPN 10% dan tarif PPnBM bervariasi antara 10% hingga 200%. Misalnya, satu wajib pajak badan dalam satu tahun melakukan penjualan Rp1 miliar dengan tingkat laba bersih 10%. Ini berarti PPh yang harus dibayar dari transaksinya adalah 2,8% dari Rp1 miliar atau sebesar Rp28 juta. Misalnya atas barang yang dijual tidak terutang PPnBm, maka jumlah PPN yang terpungut dari penjualan barang sebesar Rp1 miliar adalah sebesar Rp100 juta. namun demikian, untuk mengetahui besarnya penerimaan PPN bersih, harus juga dihitung berapa PPN yang dibayar oleh wajib pajak saat melakukan pembelian bahan atau input produksi, sehingga penerimaan bersih PPN akan menjadi lebih kecil dari 10%. Untuk kasus ekspor besarnya PPN yang dipungut akan 0%.

Dari sini dapat dilihat bahwa, penerimaan PPh dari transaksi tersebut akan lebih besar dari pada penerimaan PPN, mengingat besaran tarif dan basis pajaknya.

Berdasarkan gambaran singkat tentang postur penerimaan pajak di atas, dapat dilihat kemungkinan adanya masalah ketimpangan dimana wajib pajak yang seharusnya membayar pajak lebih besar, tetapi tidak melaksanakan kewajibannya dengan benar. Dengan kata lain, ada masalah ketidakpatuhan pajak yang secara langsung menimbulkan masalah ketidakadilan.


2. Ketidakpatuhan Pajak

OECD (2004) mendefinisikan ketidakpatuhan pajak sebagai risiko yang dihadapi oleh satu administrasi pajak berupa pajak yang tidak dapat ditarik dari wajib pajak karena wajib pajak tersebut tidak tidak mematuhi ketentuan perpajakan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar. Risiko inilah yang biasa disebut dengan risiko ketidakpatuhan. Untuk efisiensi dan efektivitas operasional, administrasi perpajakan seharusnya dapat mengidentifikasi risiko ini sehingga dapat merumuskan strategi-strategi yang akan digunakan untuk menangkal munculnya risiko ketidakpatuhan.

Untuk dapat memerangi ketidakpatuhan langkah pertama yang harus dilakukan adalah mengenali adanya gejala-gejala ketidakpatuhan (symptoms). Kesenjangan penerimaan pajak antara pajak langsung dengan pajak tidak langsung seperti diuraikan di atas dapat dilihat sebagai gejala adanya masalah ketidakpatuhan. Penanganan yang tidak memadai terhadap masalah gejala ketidakpatuhan ini dapat berakibat negatif dalam jangka panjang karena akan muncul persepsi di wajib pajak bahwa ada insentif bagi ketidakpatuhan. Hal ini dapat mendorong wajib pajak patuh untuk bergerak ke arah tidak patuh.

3. Visi Kepatuhan vs Visi Pencapaian Target

Masalah kepatuhan sudah semestinya menjadi isu utama yang harus diperhatikan oleh administrasi pajak. Setiap kebijakan yang yang ditempuh oleh administrasi pajak, seharusnya mengarah bagaimana meningkatkan kadar kepatuhan pajak masyarakat. Ini bisa dilakukan antara lain dengan melakukan edukasi tentang mengapa perlu dan bagaimana pentingnya membayar pajak. Edukasi yang dijalankan secara konsisten, berkelanjutan dan terstruktur. Ini dapat dilakukan, misalnya, menjadikan pendidikan pajak sebagai bagian dari kurikulum di pendidikan dasar sehingga kesadaran akan pajak bisa ditanamkan kepada anggota masyarakat sejak usia dini.
Untuk bisa melakukan ini dengan baik, tampaknya perlu ada perubahan paradigma di dalam administrasi pajak; dari paradigma pencapaian target penerimaan setiap tahunnya menjadi paradigma bagaimana meningkatkan tingkat kepatuhan pajak masyakarat. Tentu saja, upaya peningkatan kepatuhan pajak ini merupakan langkah jangka panjang, dalam arti, hasil berbagai usaha peningkatan kepatuhan tersebut tidak akan dapat terlihat dalam waktu dekat. Ini memerlukan proses yang lama, sampai terciptanya 'masyarakat yang sadar dan peduli pajak'. Bagaimanapun, hal ini harus dimulai karena bisa jadi rendahnya tingkat kepatuhan pajak saat ini merupakan buah kegagalan administrasi pajak untuk melakukan proses edukasi ini di masa lampau. Sebuah kegagalan yang tidak perlu diulang!
Keberhasilan memulai sebuah proses edukasi yang berkelanjutan hari ini, mungkin akan menjadi bekal keberhasilan pemungutan pajak yang sesuai dengan prinsip-prinsip pemungutan pajak yang berkeadilan di masa mendatang. Bagaimanapun juga, sebuah sistem perpajakan yang dirasakan memenuhi prinsip keadilan akan mendapat dukungan penuh dari masyarakat pembayar pajaknya; sebuah sistem perpajakan yang berkeadilan!
gambar diambi dari sini dan sini

1 komentar:

Anonim mengatakan...

excellent insight, Prof.