20 November 2009

3 Bulan Pertama Perjalanan Di Bumi Katulistiwa

Tak terasa, sudah tiga bulan saya tinggal di Pontianak, kota yang biasa orang sebut dengan Kota Katulistiwa. Catatan ini mencoba merangkum hal-hal yang terjadi dalam tiga bulan pertama dari perjalanan saya di bumi Pontianak ini, yang entah akan berlangsung untuk berapa lama. Kejadian-kejadian yang terekam dan teringat saya coba tulis secara acak, mengingat kemampuan daya ingat yang mulai turun dari waktu ke waktu.

The world is flat
Ketika terbang permata kalinya menuju ke Pontianak, saya menghabiskan waktu di perjalanan dengan membaca bukunya Thomas L. Friedman, The World Is Flat. Dan begitu, mendarat di Bandara Supadio Pontianak, kemudian menempuh perjalanan ke pusat kota, lebih kurang 10 km dan pada gilirannya muter-muter kota Pontianak, saya menyadari bahwa di bumi Pontianak, bumi benar-benar datar dalam arti sebenarnya. Kontur tanah di Pontianak adalah datar sedatar-datarnya, tak ada tanjakan dan turunan curam. Ntah kalau di luar kota. Yang jelas, kontur model beginian memudahkan para tukang becak....

Tiga dosa besar
Ada guyonan khas yang dilontarkan oleh para sesepuh yang lebih dulu tugas di kota ini. Bahwa kota ini mempunyai tiga dosa besar, yang mudah-mudahan tidak akan saya alami. Tapi rupanya, doa-doa itu doa yang tak makbul karena tidak lama saya datang di kota ini, datang serangan tiga dosa besar secara serempak. Apa tiga dosa besar itu? Pertama, mati listrik. Ini memang penyakit yang menjadi wabah hampir diseluruh pelosok negeri. Bahkan ibukota negarapun kabarnya, saat ini dapat gilirannya! Dosa besar kedua, mati air. Air yang berasa asin itupun, ada saatnya tak mau keluar dari kran... entah untuk alasan apa? Dan, dosa besar ketiga adalah asap! Ya, kabut asap dari pembakaran hutan. Sesak napas dan pedih mata dibuatnya. Pada minggu ketiga keberadaan saya di Pontianak, ketiga dosa besar datang secara bersamaan. Pusing. Makanya buru-buru masukin permohonan cuti lebaran..., padahal puasa baru dapat dua minggu, dan balik ke rumah kumpul keluarga di Jakarta!

Nasi ayam
Ketika mau berangkat, ada teman yang pernah tinggal di Pontianak, jauh-jauh hari mengingatkan agar saya tidak sekali-sekali mencoba makan menu 'nasi ayam' yang ada di pasar. Kenapa? Karena menu tersebut adalah menu nasi ayam berkaki empat! Harom...!

Beda rasa
Satu kesulitan yang saya rasakan, rasa masakan di warung-warung ternyata tak terlalu membangkitkan selera makan. Bahkan untuk masakan padang di warung makan minangpun tak seneak di tempat lain. Itu barangkali yang membuat badan jadi tambah langsing....[he3x]

Diversity in harmony
Sekelompok anak SMA, joget-joget, nyanyi-nyanyi bareng, meriah dan berisik banget! Dilihat dari tampilan fisiknya, kebanyakan dari mereka adalah dari etnis Thiong Hoa, nggak semua memang. Etnis Thiong Hoa, memang cukup dominan di Pontianak. Kalau dilihat dari banyaknya tempat peribadatan mereka, sepertinya mereka ini terdiri dari berbagai macam-macam kepercayaan. Dan, ternyata, sekelompok anak SMA tadi dari sebuah sekolah sawata katholik yang sedang mengikuti sebuah acara antar sekolah. Yang menarik, guru pendamping mereka adalah seorang ibu guru yang memakai busana muslim. Perpaduan yang menarik dan visualisasi dari semangat bhineka tunggal ika. Beginilah seharusnya indonesia....!

Tak Harus Jam 12
Dalam tiga bulan di Pontianak, belum pernah saya bisa ikut shalat jumat tepat waktu. Beberapa kali Jumat malah, nggak sempat dapat dengerin khutbah sama sekali. Di sini, shalat jumat tidak harus dimulai jam 12 siang seperti di Jakarta. Asumsi ini yang membuat saya sering kali telat shalat jumat. Begitu jam 12 kurang dikit sampai di masjid, khutbah sudah habis, dalam beberapa kesempatan, jamaah sudah bubar saat jam 12!

Upin dan Ipin
Anak-anak saya tampaknya begitu menikmati suasana Pontianak. Satu hal yang membuat mereka 'nyaman' adalah dialog-dialog model Upin dan Ipin yang biasa ditonton di layar kaca menjadi begitu dekat, mengingat sebagian besar masyarakat Ponatianak adalah petutur dialek Melayu. Upin dan Ipin menjadi begitu hidup di benak anak-anak.

Shin shang
Ketika cedera kaki saya kambuh, dan selalu kambu hampir setiap Jumat karena harus naik turun tangga tiga lantai setiap hari, satu hal yang diingatkan dokter untuk dihindari, orang-orang di kantor menyarankan saya pergi ke shin shang. Makhluk apa shin shang ini? Ternyata adalah sebutan orang sini untuk shin she, dan ternyata... shin shang yang satu ini cukup handal! hampir tiga minggu dalam perawatannya, cedera berangsur-angsur membaik. Semoga demikian seterusnya. Buat Anda yang mempunyai keluhan di pertulangan, barangkali ini bisa jadi alternatif...[jauh amat yak...] namanya Shin Shang Lim Khun Sheng.

Time goes so slowly
Malam cepat sekali turun di Pontianak karena jam setengah 6 sore, saat pulang kantor suasananya, dalam beberapa bulan ini, sudah gelap sekali. Dan malam-malam jadi terasa amat panjang....

19 tahun pembiaran
Dan... di sini baru saya 'ngeh'... ternyata telah terjadi pembiaran untuk waktu yang sangat lama, 19 tahun... *sigh*

Tidak ada komentar: