Dalam dua bulan terakhir, kalau kita perhatikan kita disuguhi dua adegan layanan publik yang menghebohkan. Yang pertama, kejadian selama di bulan Maret berupa drop box penyampaian laporan pajak tahunan yang disediakan oleh satu institusi plat merah bernama Direktorat Jenderal Pajak. Yang kedua, di awal April kita disuguhi kenduri nasional berupa Pemilu Legislatif, memilih para Anggota Dewan Perwakilan Yang Terhormat! Yang satu ini penyelenggaranya adalah institusi plat merah lainnya yang disebut Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sama-sama dilaksanakan oleh instansi pemerintahan, tapi dari hasilnya sejauh ini bak bumi dan langit. Drop box dipuja-puji oleh beberapa kalangan dan masyarakat sebagai upaya terobosan layanan publik yang luar biasa indahnya, sampai-sampai menjadi topik editorial di salah satu harian nasional. Sementara Pemilu dengan segala kekisruhannya, dicela oleh banyak orang karena dianggap mengamputasi hak berpolitik sebagian besar anggota masyarakat, tidak masuk daftar DPT dan gagalnya sosialisasi hingga banyak orang cuek beibeh... gak mau ikutan milih padahal masuk daftar DPT.
Pertanyaannya, apa yang membuat satu layanan publik demikian berhasil sementara satu layanan publik lainnnya demikian jeblognya? Seperti saya bahas dalam postingan saya sebelumnya, barangkali kualitas keangsaan pihak-pihak terkait yang berbeda. Dalam balada angsa berenang, saya gambarkan bahwa menyelenggarakan layanan publik ibarat kita seperti angsa berenang di tengah danau yang jernih. Orang tahunya, everything is OK, tanpa mau tahu bagaimana sibuknya kaki-kaki kita mengayuh agar tubuh kita tetap terus mengambang dan bergerak maju. Demikianlah keadaannya. Sebagai salah seorang yang terlibat langsung dalam aksi drop box, saya merasakan kerepotan yang luar biasa. Bagaimana tidak, pada saat ada pengumuman di koran bahwa SPT Tahunan bisa disampaikan lewat drop box, sejatinya belum ada sosialisasi dan SOP bagaimana cara menangani drop box ini. Tapi, apa yang bisa saya harapkan, kalau bos besar sudah membuat titah, tentu pekerjaan harus diselesaikan dengan sebaik-baiknya. Timbullah kesibukan luar biasa yang pernah terjadi sebelumnya, bahkan sampai saat ini. Hal yang sama barangkai juga dirasakan oleh orang-orang yang keterlibatannya jauh lebih hebat dari saya. Dan alhamdulillah... everything is memang WOKE!!!
Saya tidak tahu persis bagaimana kerepotan yang dialami oleh KPU dalam penyelenggaraan Pemilu kali ini, tapi yang jelas melihat skalanya saja kita sudah mahfum bahwa memang repot sekali. Ini berarti angsa KPU harus model angsa bangkok (memang ada?) yang gede dan jagoan. Namun satu hal kita tahu pasti adalah bahwa kinerja KPU belumlah sehebat yang seharusnya. Satu bukti kegagalan kerja KPU adalah masalah keruwetan DPT. Ini mestinya menjadi perhatian serius sejak awal, mulai dari sosialisasi, pendataan, pembuatan data base dsb. Celakanya kita tidak pernah tahun tuh, paling tidak saya sendiri, ada sosialisasi bahwa akan diadakan pendataan guna keperluan Pemilu. Hal ini seharusnya bisa digaungkan dari awal untuk menumbuhkan ke-aware-an masyarakat pada Pemilu. Kegagalan menumbuhkan rasa aware tadi merupakan kesalahan fatal yang berkaibta rendahnya partisipasi masyarakat. Ironisnya, yang kita dengar malah ribut-ribut soal anggota KPU yang akan sosialisasi di luar negeri. Lho... piye? Yang di dalam negeri saja kurang kok malah sibuk ngurusin yang di luar negeri. Ini tak bermaksud ngecilin arti WNI yang ada di luar negeri, tetapi KPU mestinya proporsional karena bagian terbesar pemilih 'kan yang ada di dalam negeri.
Untuk pendataan, kenapa basisnya tidak KTP saja yang didata secara door to door manual oleh Ketua RT. Karena bagaimanapun, Pak Ketua RT lah yang paling tahu tentang warganya. Jadi untuk untuk keperluan DPT cukup berdasarkan informasi jumlah warga yang berKTP dalam satu wilayah. Orang inilah yang bisa milih nantinya, dan bisa milih di TPS mana saja yang masih dalam daerah pemilihan yang sama... model drop box juga. Biar lebih mudah dan sederhana, toh masih ada pengawasan berupa tinta yang sampai hari ini belum hiang bekasnya. Banyak alternatif pendekatan yang bisa digunakan untuk menjamin kualitas Pemilu. Hanya saja... memang diperlukan kerja keras dan kerja cerdas, tanpa itu ya... seperti kemarin itulah hasilnya. Atau, lain kali... DJP diikutkan dalam kepanitiaan Pemilu mungkin bisa lebih baik... ;-)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar