23 April 2009

Memetakan Kepatuhan Wajib Pajak Badan

Memetakan Kepatuhan Wajib Pajak Badan dengan Analisis Risiko Ketidakpatuhan


1. Pendahuluan

Pengawasan kepatuhan merupakan ‘nyawa’ dari pemungutan pajak dengan sistem self-assessment. Tanpa adanya pengawasan, akan sulit diketahui apakah wajib pajak telah membayar seluruh pajak yang menjadi kewajibannya. Salah satu bentuk pengawasan adalah pemeriksaan pajak. Idealnya, semua SPT wajib pajak yang disampaikan ke otoritas pajak (DJP) diperiksa. Akan tetapi, karena keterbatasan sumber daya, tidak semua SPT yang disampaikan wajib pajak dapat diperiksa DJP. Oleh karena itu, perlu dilakukan identifikasi SPT-SPT yang perlu diperiksa, yaitu dengan mempertimbangkan tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak yang tercermin dalam SPT sehingga pemeriksaan pajak hendaknya hanya dilakukan terhadap wajib pajak yang tidak patuh.

Untuk itu, pengukuran risiko ketidakpatuhan wajib pajak menjadi perlu dilakukan. Untuk melakukan pengukuran risiko ketidakpatuhan, pertama, diperlukan pemahaman terhadap variabel-variabel yang berpengaruh kepada kepatuhan dan ketidakpatuhan wajib pajak. Kedua, mendefinisikan apa risiko ketidakpatuhan itu dan kemudian menentukan ukurannya. Berkenaan dengan itu, Penulis mencoba untuk mengidentifikasi variabel-variabel yang berpengaruh pada risiko ketidakpatuhan wajib pajak badan di Indonesia dan bagaimana variabel-variabel tersebut dapat digunakan untuk mengelompokkan wajib pajak berdasarkan risiko ketidakpatuhannya, yaitu besaran koreksi penghasilan netto menurut hasil pemeriksaan.

Tulisan ini dibagi menjadi tiga bagian. Pada bagian pertama, Penulis akan membahas variabel-variabel yang berpengaruh pada kepatuhan dan ketidakpatuhan wajib pajak berdasarkan penelitian-peneltian terdahulu. Pada bagian kedua, Penulis akan membahas hasil penelitian yang meliputi bagaimana pengaruh variabel-variabel ketidakpatuhan pada ketidakpatuhan wajib pajak badan di Indonesia dan pengelompokan wajib pajak badan berdasarkan risiko ketidakpatuhannya. Pada bagian terakhir adalah kesimpulan dari hasil penelitian dan keterbatasan-keterbatasan penelitian ini serta kemungkinan penelitian lanjutan di masa mendatang. Beberapa hasil pengujian statistik yang merupakan bagian dari tulisan ini disajikan terpisah dalam lampiran.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder dan anonim berupa data hasil pemeriksaan pajak wajib pajak badan tahun pajak 2001 yang selesai diperiksa sampai dengan Pebruari 2004 dan data SPT wajib pajak yang diperoleh dari Sistem Informasi Perpajakan (SIP). Dengan metode random sistematis yang menggunakan angka random bantuan komputer diperoleh jumlah sampel sebesar 2.324 wajib pajak badan.

2. Kajian Pustaka

2.1. Risiko Ketidakpatuhan

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak, administrasi pajak akan menghadapi risiko berupa pajak yang tidak dapat ditarik dari wajib pajak karena wajib pajak tersebut tidak mematuhi ketentuan perpajakan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar (OECD, 2004). Risiko inilah yang biasa disebut dengan risiko ketidakpatuhan. Untuk efisiensi dan efektivitas operasional, administrasi perpajakan seharusnya dapat mengidentifikasi risiko ini sehingga dapat merumuskan strategi-strategi yang akan digunakan untuk menangkal munculnya risiko ketidakpatuhan.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur risiko ketidakpatuhan? Sommerfeld et al (1994) menjelaskan besaran penerimaan pajak yang hilang karena adanya ketidakpatuhan sebagai tax gap. Tax gap dapat berasal dari adanya penghasilan yang tidak dilaporkan (underreported income) maupun adanya pengurang penghasilan yang lebih dilaporkan (overstated deduction). Dalam konteks Pajak Penghasilan di Indonesia, tax gap tidak serta merta dapat digunakan sebagai ukuran risiko ketidakpatuhan. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme kompensasi kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya yang diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Dengan mekanisme kompensasi kerugian, tidak setiap ketidakpatuhan baik berupa underreported income maupun overstated deduction yang terdeteksi dalam satu tahun pajak akan berdampak pada adanya tambahan pajak yang harus dibayar. Oleh karena itu, ketidakpatuhan sebaiknya diukur dengan jumlah koreksi penghasilan netto sebelum diperhitungkan dengan kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya yang dimiliki oleh wajib pajak.

Setelah risiko ketidakpatuhan dan ukurannya didefinisikan, selanjutnya, wajib pajak dikelompokkan berdasarkan tingkat risikonya. Pengelompokan ini diperlukan karena tujuan utama sebuah administrasi perpajakan adalah untuk meminimalisasi peluang timbulnya risiko ketidakpatuhan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan menerapkan strategi perlakuan yang berbeda untuk setiap kelompok ketidakpatuhan. OECD (2004) mengelompokkan wajib pajak ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat ketidakpatuhannya; (1) rendah; (2) menengah; dan (3) tinggi.

2.2. Variabel Ketidakpatuhan

Banyak penelitian yang membahas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan atau ketidakpatuhan wajib pajak. Pelopor studi tentang kepatuhan wajib pajak adalah Allingham dan Sandmo (1972). Allingham dan Sandmo menggunakan konsep expected utility untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti.

Dalam analisis kepatuhan yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), wajib pajak diasumsikan sebagai individu yang rasional dan memperoleh penghasilan yang jumlahnya tetap, sehingga wajib pajak tersebut akan memilih berapa jumlah penghasilan yang akan dilaporkan pada administrasi pajak. Apabila seorang individu memperoleh penghasilan yang sebenarnya sebesar y, pendapatan yang dilaporkan x, penghasilan setelah pajak penghasilan v, tarif pajak t, tingkat kemungkinan terdeteksi p dan denda atas penghasilan yang tidak dilaporkan s, maka berdasarkan konsep expected utility, seorang wajib pajak akan melaporkan penghasilannya sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya, EU [I], akan maksimal. Tingkat EU [I] seorang wajib pajak adalah fungsi dari utility penghasilan setelah pajak baik dalam kondisi penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi maupun tidak. Dengan demikian, expected utility wajib pajak dapat adalah:

EU [I]=(1 – p)U{v + t(y – x)} + pU{v - s(y – x)}

Besaran (1 – p)U{v + t(y – x)} merupakan utility penghasilan wajib pajak apabila penghasilan yang tidak dilaporkan tidak terdeteksi, terdiri dari utility penghasilan yang setelah pajak dan utility pajak yang tidak dibayar. Sedangkan besaran pU{v - s(y – x)} merupakan utility apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, yaitu utility penghasilan yang setelah pajak dikurangi dengan utility penalti yang harus dibayar karena ada penghasilan yang tidak dilaporkan.

Probabilitas wajib pajak akan diperiksa adalah tingkat peluang satu wajib pajak akan diperiksa oleh administrasi perpajakan atau audit rate. Semakin tinggi audit rate, semakin tinggi peluang wajib pajak akan diperiksa. Audit rate yang tinggi akan membuat wajib pajak cenderung untuk melaporkan sebagian besar dari penghasilannya ke administrasi pajak. Berdasarkan formula expected utility di atas, semakin besar probabilitas diperiksa p dan faktor lain tetap, utility penghasilan wajib pajak apabila penghasilan yang tidak dilaporkan tidak terdeteksi, (1 – p)U{v + t(y – x)}, akan turun, sebaliknya, utility apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, pU{v - s(y – x)}, akan semakin tinggi.

Tarif pajak merupakan persentase tertentu dari penghasilan yang dilaporkan yang harus dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan dan penghasilan yang dilaporkan tertentu, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilaannya. Akan tetapi, beberapa penelitian membuktikan hal yang sebaliknya, misalnya Ali (2001).

Pada kondisi tingkat penghasilan rendah, tarif pajak rendah akan mendorong wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya pada administrasi pajak. Meskipun demikian, apabila tarif pajak dan penghasilan tinggi, wajib pajak akan cenderung tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada tingkat probabilitas diperiksa tertentu, utility wajib pajak (utility (1 – p)U{v + t(y – x)} dan utility pU{v - s(y – x)}) akan turun apabila wajib pajak melaporkan seluruh penghasilannya kepada administrasi pajak.

Faktor ekonomi berikutnya yang berpengaruh pada kepatuhan adalah penalti atau sanksi. Penalti akan dikenakan apabila penghasilan yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak terdeteksi oleh administrasi perpajakan. Apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, selain harus membayar pajak terutang dari penghasilan yang tidak dilaporkan, wajib pajak juga harus membayar penalti, sebagian dari dari penghasilan yang tidak dilaporkan. Tingkat penalti berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak karena menurut konsep expected utility, wajib pajak akan melakukan underreporting sepanjang expected value penalti tersebut masih lebih rendah dari pada expected value penghasilan yang tidak dilaporkan. Untuk membuat setiap wajib pajak bersedia melaporkan seluruh penghasilannya, penalti harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga expected value dari penalti tersebut lebih besar dari expected value dari penghasilan yang tidak dilaporkan. Dengan demikian, tidak ada insentif bagi wajib pajak untuk tidak melaporkan penghasilannya.

Erard (1997) menyimpulkan bahwa skala usaha wajib pajak dapat berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Hal ini berkaitan dengan masalah efisiensi, yaitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh satu perusahaan untuk tetap patuh dibandingkan dengan jumlah pajak yang harus dibayar apabila wajib pajak tersebut tidak patuh dan terdeteksi oleh administrasi perpajakan. Sebagai contoh, wajib pajak perusahaan kecil mungkin tidak patuh karena tidak mempunyai pemahaman tentang teknis perpajakan yang memadai, tidak dapat mengikuti perkembangan aturan perpajakan, dan enggan menyewa konsultan perpajakan untuk menangani masalah perpajakan mereka karena pertimbangan efisiensi biaya.

Chattopadhayay dan Das-Gupta (2002) menjelaskan bahwa faktor permodalan juga berpengaruh pada perilaku ketidakpatuhan. Faktor permodalan ini menyangkut siapa pemegang saham perusahaan dan bagaimana struktur modal. Wajib pajak badan yang pemegang sahamnya adalah perusahaan multi-nasional, akan menjalankan transaksi usahanya secara lebih mutakhir dalam rangka penghindaran pajak dibanding dengan perusahaan yang pemegang sahamnya terdiri dari individu-individu lokal. Selain itu, faktor permodalan juga berkaitan dengan struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio, DER). Perlakuan perpajakan yang berbeda antara biaya modal yang berasal dari hutang (bunga) dan ekuitas (dividen) bisa mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga atas hutang dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak, sementara dividen tidak boleh dikurangkan karena merupakan bagian dari keuntungan setelah pajak.

Faktor non ekonomi lain yang berpengaruh pada perilaku ketidakpatuhan wajib pajak adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku (Krause, 2000). Ketidakpatuhan akan timbul apabila wajib pajak tidak mempunyai pengetahuan perpajakan yang memadai, sehingga wajib pajak secara tidak sengaja tidak melakukan kewajiban perpajakannya (tidak mendaftarkan untuk memperoleh NPWP, tidak menyampaikan SPT dsb) atau melakukan kewajiban perpajakan tetapi tidak sepenuhnya benar (membayar dan melaporkan pajak tidak tepat waktu). Di lain pihak, pengetahuan dan pemahaman yang baik juga berdampak pada munculnya ketidakpatuhan, misalnya penghindaran pajak melalui rekayasa transaksi keuangan untuk mengeksploitasi kelemahan aturan perpajakan. Joulfaian dan Rider (1998) menyatakan faktor demografi juga berpengaruh pada ketidakpatuhan wajib pajak. Latar belakang keluarga, usia wajib pajak, jumlah tanggungan dalam keluarga keluarga (family size), dan tempat tinggal/lokasi di mana wajib pajak tinggal akan juga turut menentukan bagaimana perilaku ketidakpatuhan wajib pajak.

Tingkat kepatuhan wajib pajak juga ditentukan oleh jenis usaha wajib pajak. Joulfaian dan Rider (1998) misalnya, menyimpulkan bahwa wajib pajak orang pribadi dengan kegiatan usaha (self-employed) cenderung kurang patuh dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya berasal dari gaji. Hal ini disebabkan penghasilan berupa gaji menjadi obyek pemotongan pajak oleh pihak lain (withholding source) yaitu pemberi penghasilan sehingga kepatuhan wajib pajak tersebut akan lebih bisa terkontrol. Sedangkan Forest (2004), menyimpulkan bahwa wajib pajak yang bergerak dalam satu bidang usaha tertentu lebih patuh dari pada wajib pajak yang bergerak di bidang usaha lainnya. Hal ini dikarenakan ada jenis-jenis usaha tertentu, misalnya jenis usaha yang mengandalkan kepercayaan konsumen, yang sensitif pada dampak negatif yang akan diperoleh apabila ketidakpatuhan wajib pajak terdeteksi oleh administrasi pajak.

3. Hasil Penelitian

3.1. Hasil Penelitian untuk Keseluruhan Sampel (Agregat)Untuk mengetahui pengaruh variabel-variabel ketidakpatuhan terhadap tingkat ketidakpatuhan, dilakukan regresi dengan variabel tidak bebas berupa koreksi penghasilan netto (risiko ketidakpatuhan) dan variabel bebas berupa sepuluh variabel-variabel yang berdasarkan penelitian terdahulu berpengaruh pada ketidakpatuhan wajib pajak, yaitu tarif efektif (TE), penalti (SANG), pemegang saham (PS), rasio hutang dengan modal (debt to equity ratio, DER), status industri (SI), skala usaha (SU), profitabilitas (PRO), pajak per penjualan (PPS), status kompensasi (SK) dan status pemeriksaan (SP). Hasil regresi untuk keseluruhan sampel dapat dilihat pada Tabel 1.

1. Tarif Efektif

Tarif efektif adalah perbandingan antara jumlah pajak terutang dengan penghasilan kena pajak. Tarif efektif memiliki arah pengaruh yang negatif, artinya semakin tinggi tarif efektif, ceteris paribus, semakin rendah angka koreksi penghasilan netto. Hal ini berarti semakin tinggi tarif pajak yang dihadapi wajib pajak, semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak tersebut. Korelasi positif antara tarif efektif pajak dengan kepatuhan juga dapat diartikan bahwa wajib pajak dengan tingkat penghasilan yang lebih tinggi cenderung lebih patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang tingkat penghasilannya lebih rendah.

Allingham dan Sandmo (1972) mengasumsikan bahwa wajib pajak adalah rasional sehingga wajib pajak akan memilih tindakan yang utility-nya paling besar. Berdasarkan konsep wajib pajak adalah rasional dan teori utility ini, ada dua hal yang mendorong wajib pajak dengan tingkat penghasilan relatif lebih tinggi akan semakin patuh. Pertama, wajib pajak melihat bahwa kemungkinan terdeteksinya penghasilan yang tidak dilaporkan cukup tinggi. Hal ini berarti ada persepsi di kalangan wajib pajak berpenghasilan tinggi bahwa mereka akan cenderung menjadi target pemeriksaan oleh administrasi pajak. Kedua, penalti yang akan dikenakan terhadap penghasilan yang tidak dilaporkan dianggap berat oleh wajib pajak sehingga penalti yang ada sekarang mampu memberikan disinsentif bagi ketidakpatuhan wajib pajak. Tingginya kemungkinan terdeteksinya penghasilan yang tidak dilaporkan dan besarnya penalti yang akan ditanggung wajib pajak menyebabkan utility penghasilan yang tidak dilaporkan wajib pajak menjadi rendah. Hal ini membuat wajib pajak dengan tarif efektif yang tinggi cenderung untuk patuh.

Sistem perpajakan di Indonesia menggunakan tarif progresif (10% untuk penghasilan kena pajak sampai dengan Rp 50 juta, 15% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 50 juta sampai dengan Rp 100 juta, dan 30% untuk penghasilan kena pajak di atas Rp 100 juta), sehingga semakin tinggi penghasilan, tarif pajak yang dihadapi wajib pajak akan bergerak naik yang berakibat pada semakin tingginya tarif efektif yang dihadapi oleh wajib pajak. Akan tetapi pada tingkat penghasilan kena pajak yang tinggi, kenaikan tarif efektif yang dihadapi oleh wajib pajak akan semakin kecil atau mendekati nol. Pertanyaan selanjutnya adalah, dalam situasi yang demikian, apakah kecenderungan wajib pajak untuk lebih patuh akan tetap konsisten?

Penulis menduga, apabila penghasilan wajib pajak sampai pada tingkat tertentu dan peningkatan tarif efektif mendekati nol maka wajib pajak akan cederung tidak patuh. Wajib pajak dengan penghasilan yang demikian tinggi akan merasakan utility dari penghasilan yang tidak dilaporkan pada satu tahun pajak akan lebih besar dibandingkan dengan utility penalti yang akan dibayar apabila penghasilan yangtidak dilaporkan tersebut terdeteksi di kemudian hari.

2. Penalti

Penalti adalah besarnya bunga yang harus dibayar wajib pajak karena adanya tambahan pajak yang harus dibayar sesuai dengan hasil pemeriksaan. Penalti yang dikenakan kepada wajib pajak memiliki arah pengaruh yang negatif secara parsial terhadap ketidakpatuhan. Artinya semakin tinggi penalti yang dikenakan, semakin rendah arah koreksi penghasilan netto, ataupun sebaliknya (ceteris paribus). Dengan demikian, untuk kasus di Indonesia semakin tinggi penalti yang dikenakan, tingkat kepatuhan wajib pajak akan semakin tinggi. Korelasi negatif antara penalti dengan ketidakpatuhan menandakan bahwa penalti yang dikenakan kepada ketidakpatuhan wajib pajak cukup memberikan disinsentif bagi wajib pajak yang tidak patuh. Dengan demikian, wajib pajak cenderung akan patuh karena merasa penalti yang harus dibayar atas setiap penghasilan yang tidak dilaporkan cukup memberatkan.

Hal ini sejalan dengan teori ketidakpatuhan, di mana wajib pajak akan cenderung patuh apabila utility kepatuhan lebih besar daripada utility ketidakpatuhan (Allingham dan Sandmo, 1972). Dalam konteks penelitian ini, wajib pajak merasa bahwa beban yang harus dibayar atas penghasilan yang tidak dilaporkan apabila nantinya ditemukan oleh administrasi pajak akan lebih besar daripada keuntungan yang mereka peroleh karena penghematan pajak yang dinikmati sekarang karena adanya penghasilan yang tidak dilaporkan.

3. Pemegang Saham

Dalam penelitian ini, wajib pajak dibagi menjadi dua berdasarkan pemegang sahamnya, yaitu wajib pajak yang pemegang sahamnya 100% dimiliki oleh pihak lokal dan wajib pajak yang sebagian sahamnya dimiliki pihak asing (subyek pajak luar negeri). Tingkat kepatuhan wajib pajak badan yang sahamnya dimiliki oleh pemodal asing lebih rendah daripada wajib pajak yang sahamnya tidak dimiliki pihak asing (100% dimiliki pihak lokal), ceteris paribus. Dengan demikian, dugaan bahwa perusahaan dengan saham yang dimiliki pihak asing akan menggiring orang untuk melakukan transaksi-transaksi yang sifatnya “off the books” (Chattopadhayay and Das-Gupta, 2002) mendapat konfirmasi positif dari studi empiris ini. Kehadiran pemegang saham asing memberikan peluang wajib pajak untuk melakukan rekayasa transaksi yang tujuan akhirnya adalah meminimalisasi beban pajak yang dibayar di Indonesia. Rekayasa transaksi, antara lain dengan melakukan praktik transfer pricing.

Selain itu, underreporting penghasilan juga dapat dilakukan melalui praktik pengendalian biaya. Dalam hal ini, perusahaan yang didirikan di Indonesia ditetapkan sebagai pusat biaya (cost center) di mana biaya-biaya bersama dari perusahaan multinasional lebih bayak dibebankan di Indonesia karena alasan tarif pajak di Indonesia lebih tinggi. Pemodal asing pada umumnya datang ke Indonesia untuk melakukan investasi dengan modal yang cukup besar. Hal ini memungkinkan wajib pajak yang sahamnya dimiliki oleh pemodal asing untuk menyewa konsultan pajak. Kehadiran konsultan pajak ini dapat meningkatkan pengetahuan perpajakan wajib pajak, yang pada gilirannya dapat dipakai untuk mengeksploitasi celah-celah peraturan yang ada dalam ketentuan perpajakan untuk tujuan minimalisasi pajak (aggresive tax planning) (OECD, 2001).

Perlu dicermati, istilah pemodal asing di sini adalah wajib pajak luar negeri yang melakukan penanaman modal ke dalam badan usaha di Indonesia. Pemodal asing di sini juga bisa berarti badan hukum yang didirikan oleh wajib pajak dalam negeri di luar Indonesia. Dengan kata lain, variabel pemegang saham ini juga mengindikasikan kemungkinan adanya praktik ketidakpatuhan wajib pajak dalam negeri dengan rekayasa transaksi yaitu pembentukan badan usaha di Indonesia dengan menggunakan badan usaha yang didirikan di luar negeri.

4.Debt to Equity Ratio

Variabel keempat yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio/DER). Dalam manajemen keuangan dikenal sumber modal yang berasal dari hutang atau dari ekuitas yang dampak kewajiban perpajakannya berbeda. Hutang misalnya akan memunculkan bunga atas hutang sedangkan ekuitas akan memunculkan pembagian deviden kepada pemegang saham.

Dugaannya adalah semakin tinggi modal yang berasal dari hutang (DER) maka wajib pajak cenderung tidak akan berupaya memanipulasi beban-bebannya. Dengan demikian semakin tinggi DER semakin patuh wajib pajak, ceteris paribus. Dari hasil perhitungan tampak bahwa koefisien variabel DER ini adalah negatif dan signifikan. Oleh karena itu, penelitian ini mendukung premis bahwa permodalan (dalam hal ini DER sebagai proxy struktur modal) mempengaruhi kepatuhan wajib pajak.

Tanda negatif pada koefisien menunjukkan bahwa DER yang semakin tinggi akan menyebabkan angka koreksi penghasilan netto semakin rendah, yang berarti bahwa wajib pajak semakin patuh. Taraf nyata yang tinggi untuk variabel ini juga berarti pengaruh yang sama juga akan ditemukan dalam populasi. Korelasi negatif juga menunjukkan bahwa wajib pajak yang struktur pembiayaannya lebih banyak dilakukan melalui hutang cenderung lebih patuh dibandingkan dengan wajib pajak yang mengandalkan ekuitas. Perlakuan perpajakan atas biaya modal dari kedua alternatif pembiayaan tersebut terlihat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga yang dibayar atas hutang merupakan biaya yang boleh dikurangkan (deductible expense) sedangkan dividen tidak.

Dengan demikian, wajib pajak yang mengutamakan hutang sebagai sumber pembiayaan akan cenderung bersedia melaporkan seluruh penghasilannya karena ada keuntungan dengan pengurangan biaya bunga sehingga penghasilan kena pajak akan menjadi lebih kecil dan memperoleh penghematan pajak. Di pihak lain, bagi wajib pajak yang mengandalkan ekuitas sebagai sumber pembiayaan tidak memperoleh manfaat penghematan pajak dari biaya modal karena dividen tidak boleh dikurangkan dalam penentuan besarnya penghasilan kena pajak.

5. Status Industri

Variabel kelima yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak adalah status industri yang dalam penelitian ini dikategorikan ke dalam pembagian industri manufaktur atau non-manufaktur. Secara teknis dalam penelitian ini wajib pajak yang masuk ke dalam jenis industri manufaktur diwakili oleh angka 1 sedangkan bila tidak termasuk dalam industri manufaktur diwakili oleh angka 0 (variabel boneka). Koefisien regresi yang diperoleh untuk variabel ini adalah negatif yang berarti perusahaan yang termasuk dalam jenis industri manufaktur akan memiliki angka koreksi penghasilan netto yang lebih rendah. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan rata-rata wajib pajak yang masuk kedalam industri manufaktur lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar sektor manufaktur. Karakteristik ini hanya ditemukan pada sampel yang diteliti dan tidak pada populasinya karena variabel ini tidak nyata secara statistik (tidak signifikan) yang tercermin dari p-value yang lebih tinggi dari 10%.

Jenis usaha wajib pajak berpengaruh kepada kepatuhan karena adanya perlakuan perpajakan yang berbeda-beda antara berbagai jenis usaha wajib pajak, Forest (2004). Sebagai contoh, di Indonesia, bagi wajib pajak yang bergerak di bidang non-manufaktur, seperti jasa, umumnya menjadi subyek pemotongan atau pemungutan pajak (withholding tax) pajak penghasilan. Sementara, wajib pajak manufaktur umumnya tidak menjadi subyek pemotongan atau pemungutan pajak, kecuali untuk beberapa transaksi tertentu seperti impor atau penjualan kepada instansi pemerintah.

Mekanisme pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan oleh wajib pajak lain menyebabkan transaksi yang dilakukan oleh wajib pajak penerima penghasilan diketahui lebih banyak pihak karena adanya kewajiban melaporkan pemotongan atau pemungutan oleh wajib pajak pemberi penghasilan. Hal ini menyebabkan wajib pajak yang bergerak di bidang usaha yang menjadi obyek pemotongan atau pemungutan cenderung lebih patuh. Berdasarkan hal ini, wajib pajak yang bergerak di bidang usaha non-manufaktur yang menjadi obyek pemotongan atau pemungutan pajak penghasilan akan cenderung lebih patuh daripada wajib pajak yang bergerak di bidang usaha manufaktur.

Meskipun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan hal yang sebaliknya, di mana wajib pajak manufaktur cenderung lebih patuh. Beberapa hal dapat dijadikan catatan terhadap hasil penelitian atas variabel status industri. Pertama, secara statistik, karakteristik ini hanya ditemukan pada sampel yang diteliti dan tidak pada populasinya karena variabel ini tidak nyata secara statistik (tidak signifikan, di mana p-value yang lebih tinggi dari 10%). Hal ini menunjukkan bahwa kecenderungan bahwa wajib pajak manufaktur lebih patuh tidak berlaku bagi wajib pajak pada umumnya. Kesimpulan ini sesuai dengan pendapat penulis bahwa wajib pajak yang bergerak disektor non-manufaktur yang menjadi obyek pemotongan atau pemungutan seharusnya mempunyai kecenderungan untuk patuh yang lebih tinggi. Kedua, dalam penelitian ini, karena keterbatasan data, jenis usaha wajib pajak hanya dikelompokkan ke dalam dua kelompok bidang usaha yaitu manufaktur dan non-manufaktur yang terdiri dari perdangangan dan jasa. Pengelompokan jenis usaha yang lebih rinci akan memberikan informasi yang berbeda dengan hasil penelitian ini.

6. Skala Usaha

Skala usaha dimasukkan ke dalam salah satu variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak karena besar kecilnya tingkat skala usaha wajib pajak diduga akan berpengaruh kepada kepatuhan pelaksanaan kewajiban perpajakannya. Dalam penelitian ini, skala usaha wajib pajak diwakili oleh peredaran usaha.

Hasil perhitungan regresi yang tampak dari tabel di atas untuk variabel ini adalah positif dan signifikan. Dengan demikian dugaan bahwa semakin tinggi tingkat skala usaha, ceteris paribus, akan membuat kesempatan wajib pajak cenderung menjadi tidak patuh akan semakin tinggi pula, mendapat konfirmasi dari studi empirik yang dilakukan. Taraf nyata sebesar 90% (p-value 0,71) mengindikasikan karakateristik ini juga mencerminkan kondisi pada populasi. Korelasi positif antara skala usaha dengan tingkat koreksi penghasilan netto menggambarkan bahwa semakin tinggi skala usaha, tingkat koreksi penghasilan netto juga semakin tinggi atau wajib pajak semakin tidak patuh.

Berdasarkan teori utility ketidakpatuhan, kecenderungan wajib pajak dengan skala usaha tinggi untuk tidak patuh dapat dikaitkan dengan tingkat pemeriksaan (audit rate) yang masih rendah. Wajib pajak berskala usaha tinggi masih mempunyai insentif untuk tidak patuh dengan melakukan underreporting mengingat dari 2.324 sampel yang menjadi obyek penelitian ini hanya 366 atau 15,7% yang pernah diperiksa pada tahun pajak sebelumnya.


7. Profitabilitas

Profitabilitas adalah rasio antara penghasilan kena pajak dengan peredaran usaha sedangkan pajak per panjualan adalah jumlah pajak terhutang dibandingkan dengan peredaran usaha. Profitabilitas merupakan salah satu elemen SPT yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Hasil estimasi model regresi untuk variabel ini adalah negatif dan signifikan. Artinya semakin tinggi kemampuan menghasilkan laba suatu perusahaan, ceteris paribus, akan menurunkan tingkat koreksi penghasilan netto dari penghasilan netto menurut SPT. Dengan kata lain semakin tinggi tingkat profitabilitas semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak. Melihat tingginya tingkat signifikansi (99%), arah pengaruh yang sama juga terjadi pada populasi. Hasil penelitian pada variabel ini sejalan dengan hasil penelitian pada variabel tarif pajak. Tarif pajak penghasilan di Indonesia menggunakan tarif progresif, semakin tinggi penghasilan wajib pajak, semakin tinggi tarif pajak yang dikenakan. Dengan demikian, semakin tinggi tingkat keuntungan, wajib pajak akan menghadapi tarif pajak yang lebih tinggi dan wajib pajak akan cenderung lebih patuh. Penjelasan tentang konsep utility seperti dijelaskan dalam kaitannya dengan variabel tarif berlaku juga untuk variabel profitabilitas.

8. Pajak Per Penjualan

Variabel pajak per penjualan adalah salah satu elemen SPT seperti halnya profitablitas yang diduga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Hasil estimasi model regresi untuk variabel ini adalah positif dan signifikan. Dengan demikian berarti semakin tinggi rasio pajak terhadap penjualan yang dibayarkan, ceteris paribus, semakin tinggi tingkat koreksi penghasilan netto. Dengan kata lain, semakin tinggi rasio pajak yang dibayarkan terhadap penjualan, semakin rendah tingkat kepatuhan wajib pajak. Rendahnya p-value yang dihasilkan menandakan karakteristik yang ditemukan dalam sampel mencerminkan kondisi yang sama untuk populasi.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa wajib pajak cenderung tidak patuh apabila jumlah nominal pajak yang dibayar relatif besar apabila dibandingkan dengan tingkat penjualan wajib pajak. Di sisi lain, berdasarkan penelitian terhadap variabel tarif efektif, semakin tinggi tarif efektif, wajib pajak akan cenderung patuh. Hasil penelitian terhadap variabel tarif efektif dan pajak per penjualan tampak bertolak belakang. Semakin tinggi tarif efektif berarti nominal pajak yang dibayar juga semakin tinggi, akan tetapi dampak semakin tingginya tarif dan nominal pajak terhadap penjualan pada tingkat ketidakpatuhan adalah bertolak belakang. Semakin tinggi pajak yang dibayar wajib pajak relatif terhadap penjualan membuat wajib pajak cenderung tidak patuh, di pihak lain semakin tinggi tarif pajak, yang berarti jumlah pajak yang dibayar juga akan lebih tinggi, membuat wajib pajak cenderung untuk patuh.

Dari penelitian terhadap kedua variabel ini, penulis menyimpulkan bahwa wajib pajak mempertimbangkan jumlah pajak yang dibayar relatif terhadap penjualannya dalam perilaku kepatuhannya. Dengan demikian, wajib pajak mempunyai batas optimal (rasio pajak dibayar dengan penjualan) berapa rupiah pajak yang mereka bersedia bayar. Apabila jumlah pajak yang dibayar masih di bawah batas optimal, wajib pajak akan cenderung patuh, akan tetapi apabila jumlah pajak yang dibayar sudah melebihi batas optimal tersebut, wajib pajak akan menjadi tidak patuh.

9. Status Kompensasi

Status kompensasi adalah kondisi apakah wajib pajak mempunyai kerugian dalam tahun pajak sebelumnya yang dapat diperhitungkan dalam menentukan penghasilan kena pajak tahun berjalan. Variabel ini dimasukkan sebagai salah satu variabel yang menjelaskan tingkat kepatuhan wajib pajak karena ada tidaknya kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya menentukan jumlah pajak yang harus dibayar dalam satu tahun pajak. Selain itu, dengan adanya kompensasi kerugian dapat menyebabkan koreksi penghasilan netto tahun berjalan tidak diikuti dengan tambahan pajak dibayar. Untuk menangkap gejala ini digunakan variabel kategori yang bernilai 1 dan 0. Nilai 1 mewakili kondisi di mana perusahaan memiliki kompensasi, sedangkan nilai 0 berarti sebaliknya.

Hasil estimasi terhadap variabel ini menyatakan bahwa perusahaan yang memiliki kompensasi, ceteris paribus, semakin tinggi tingkat koreksi penghasilan netto. Dengan kata lain, tingkat kepatuhan rata-rata dari wajib pajak yang memiliki kompensasi lebih rendah daripada mereka yang tidak memiliki kompensasi. Tingginya tingkat signifikansi memberikan indikasi bahwa hal yang sama juga terjadi pada populasi.

Adanya kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya menyebabkan wajib pajak memperoleh manfaat pada tahun berjalan. Manfaat tersebut adalah adanya pengurangan kerugian dari tahun pajak sebelumnya pada penghasilan netto tahun berjalan. Apabila penghasilan netto tahun berjalan lebih kecil daripada kerugian tahun pajak sebelumnya maka pada tahun berjalan tidak ada pajak yang terutang oleh wajib pajak. Hal ini membuat wajib pajak akan cenderung patuh dalam melaporkan penghasilan tahun berjalan karena tidak ada pajak yang akan dibayar. Berbeda dengan wajib pajak yang tidak mempunyai kerugian dari tahun pajak sebelumnya, setiap penghasilan yang dilaporkan akan ada pajak yang harus dibayar.

10. Status Pemeriksaan

Variabel terakhir yang menjadi variabel yang menerangkan tingkat kepatuhan wajib pajak adalah status pemeriksaan. Variabel ini diwakili nilai 1 untuk wajib pajak yang diperiksa pada tahun sebelumnya, dan nilai 0 untuk wajib pajak yang tidak diperiksa pada tahun sebelumnya. Wajib pajak yang telah diperiksa pada tahun tertentu cenderung akan memiliki kepatuhan yang lebih tinggi daripada sebelum diperiksa. Artinya perusahaan yang pernah diperiksa, ceteris paribus, akan memiliki tingkat koreksi penghasilan netto yang lebih rendah. Atau dengan kata lain para wajib pajak yang pernah diperiksa akan memiliki tingkat kepatuhan rata-rata yang lebih tinggi daripada mereka yang belum pernah diperiksa. Tingginya derajat nyata yang dihasilkan dari perhitungan menyatakan bahwa kondisi yang sama juga terjadi untuk populasi.

Secara keseluruhan, hasil regresi seperti terlihat pada Tabel di atas juga memperlihatkan hasil perhitungan koefisien beta untuk kelompok sampel secara keseluruhan. Apabila koefisien beta tersebut dibandingkan ternyata tiga variabel dominan, variabel dengan pengaruh paling besar, yang mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak untuk sampel keseluruhan adalah penalti, profitablitas dan pajak per penjualan.

3.2. Hasil Penelitian untuk Setiap Kategori Resiko Wajib Pajak

Setelah secara agregat hasil studi empirik membuktikan bahwa variabel-variabel bebas yang diduga mempengaruhi dapat menjelaskan variabel tidak bebas, langkah selanjutnya adalah menyelidiki berapa ukuran risiko ketidakpatuhan yang dapat digunakan untuk mengelompokkan wajib pajak ke dalam kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi. Untuk menjawab pertanyaan ini digunakan Uji Chow dengan perantaraan model regresi linier untuk mengetahui apakah wajib pajak yang masuk ke dalam risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi dalam penelitian ini memiliki perbedaan karakteristik. Untuk itu, selain dari regresi dengan data full sample, penelitian ini membagi sampel ke dalam tiga kelompok berdasarkan besaran nilai koreksi penghasilan netto dibandingkan dengan penghasilan netto menurut SPT, yang merupakan proxy dari tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak. Batas nilai yang digunakan adalah 0% sampai dengan 10% untuk kelompok risiko ketidakpatuhan rendah, di atas 10% sampai dengan 20% untuk kelompok risiko ketidakpatuhan menengah, dan di atas 20% untuk kelompok risiko ketidakpatuhan tinggi.

Berdasarkan hasil uji multikolinieritas diketahui bahwa tidak terdapat kolinieritas yang berarti dalam hasil regresi untuk model wajib pajak berisiko rendah. Sementara itu, uji heteroskedstisidas membuktikan bahwa varian regresi adalah tunggal (homoskedastis). Hasil yang sama juga diperoleh untuk kelompok wajib pajak berisiko menengah dan tinggi sehingga dapat dikatakan bahwa atas sampel yang digunakan dalam penelitian ini tidak terdapat heteroskedastisitas dan multikolinieritas dari hasil regresi untuk data kelompok wajib pajak berisiko rendah, menengah dan tinggi.

Selain menghasilkan koefisien regresi yang telah dibandingkan, estimasi model untuk wajib pajak kelompok risiko rendah juga menghitung nilai residual sum square (RSS) untuk menguji apakah benar terdapat perbedaan karakteristik yang signifikan antara seluruh sampel dengan sekelompok sampel yang termasuk ke dalam kelompok wajib pajak berisiko rendah, menengah dan tinggi. Berdasarkan nilai Fstat terbukti bahwa kelompok wajib pajak berisiko rendah, menengah dan tinggi berbeda dengan data secara keseluruhan. Ini berarti bahwa sekelompok wajib pajak yang masuk dalam kategori wajib pajak berisiko rendah, menengah dan tinggi memiliki karakteristik yang berbeda dengan wajib pajak di sampel keseluruhan.

1. Kelompok Wajib Pajak Risiko Rendah

Dibandingkan dengan hasil regresi untuk data keseluruhan (Tabel 1), hasil regresi untuk kelompok wajib pajak risiko rendah (Tabel 2) mempunyai beberapa perbedaan. Beberapa variabel tertentu memiliki pengaruh yang lebih signifikan pada sampel yang termasuk dalam kelompok wajib pajak risiko rendah. Perbedaan dengan data secara keseluruhan terjadi pada variabel tarif efektif. Untuk wajib pajak dalam kelompok risiko rendah variabel yang lebih dominan mempengaruhi tingkat kepatuhannya adalah tarif, di mana semakin tinggi tarif yang dikenakan semakin tinggi tingkat kepatuhan wajib pajak.

2. Kelompok Wajib Pajak Risiko Menengah

Apabila hasil regresi untuk wajib pajak yang dikelompokkan ke dalam kategori wajib pajak berisiko menengah (Tabel 3) dibandingkan dengan hasil regresi untuk data keseluruhan, tampak perbedaan-perbedaan. Perbedaan signifikan terjadi pada dua variabel bebas yaitu pemegang saham dan status industri. Untuk wajib pajak dengan tingkat risiko menengah adanya pemegang saham asing akan memiliki pengaruh yang negatif. Hal ini berarti tingkat kepatuhan wajib pajak berisiko menengah yang sahamnya dimiliki pemegang saham asing lebih rendah daripada kepatuhan wajib pajak yang sahamnya tidak dimiliki pemegang saham asing. Variabel penjelas kedua yang hasil estimasinya berbeda adalah status industri. Tingkat kepatuhan wajib pajak (berisiko menengah) yang berada disektor manufaktur lebih tinggi daripada mereka yang berada di luar sektor manufaktur.


3. Kelompok Wajib Pajak Risiko Tinggi

Apabila hasil regresi kelompok wajib pajak risiko tinggi (Tabel 4) dibandingkan dengan keseluruhan sampel, maka beberapa perbedaan muncul. Perbedaan terjadi dalam taraf nyata beberapa variabel. Variabel status industri misalnya, memiliki pengaruh yang signifikan pada kelompok wajib pajak berisiko tinggi. Dengan demikian dalam kelompok wajib pajak berisiko tinggi, mereka yang bergerak dalam industri manufaktur memiliki rata-rata tingkat kepatuhan yang lebih tinggi daripada mereka yang bergerak dalam industri non manufaktur.

3.3. Perbedaan Antara Kelompok Wajib Pajak

Langkah selanjutnya adalah melakukan uji diskriminan untuk membuktikan bahwa terdapat perbedaan antara kelompok wajib pajak yang berisiko ketidakpatuhan rendah (koreksi penghasilan netto ≤ 10%), menengah (10% 20%). Untuk itu, dibentuk dua fungsi diskriminan; (1) Fungsi Diskriminan Pertama (Fungsi 1) untuk membedakan kelompok wajib pajak risiko rendah dengan menengah; dan (2) Fungsi Diskriminan Kedua (Fungsi 2) untuk membedakan kelompok wajib pajak risiko menengah dengan tinggi.Your browser may not support display of this image.Your browser may not support display of this image.

Berdasarkan Uji Kesamaan Rata-rata Grup (Tabel 6) diketahui bahwa seluruh variabel ketidakpatuhan memiliki pengaruh yang nyata dalam pengelompokan wajib pajak ke dalam kelompok wajib pajak berisiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi. Di sisi lain dapat dilihat bahwa setiap penambahan variabel sebagai prediktor, angka Wilks’ Lambda semakin kecil. Misalnya, ketika variabel kedua (penalti) ditambahkan ke dalam model, varian yang tidak dapat dijelaskan oleh perbedaan antar grup turun dari 85,2% menjadi 80,6% (Tabel 7). Dengan demikian, seluruh variabel penjelas memiliki peran yang baik karena angka Wilks’ Lambda secara konsisten turun dari dimasukkannya variabel penjelas pertama (tarif efektif) hingga variabel kesepuluh (status pemeriksaan). Dari hasil analisis ini juga dapat dilihat, pada kolom F dan signifikansinya, bahwa baik pada pemasukan variabel tarif efektif maupun sembilan variabel lainnya, semuanya adalah signifikan secara statistik. Hal ini berarti kesepuluh variabel yang menjadi penduga variabel risiko ketidakpatuhan memang berbeda untuk ketiga kelompok risiko ketidakpatuhan wajib pajak.

Tahap selanjutnya adalah menguji perbedaan antar kelompok wajib pajak menurut risiko ketidakpatuhan dengan perbedaan dua fungsi diskriminan yang membedakan ketiga kategori wajib pajak. Fungsi 1 memiliki korelasi kanonik sebesar 0,468, sedangkan Fungsi 2 memiliki korelasi kanonik sebesar 0,279 (Tabel 8). Berdasarkan Uji Perbedaan Antar Kelompok Wajib Pajak di atas, juga dihasilkan eigenvalue yang merupakan rasio sum of square antar kelompok (between group) dengan dalam kelompok (within group). Secara statistik, semakin tinggi harga eigenvalue, maka semakin baik fungsi tersebut dalam menjelaskan variabel yang diamati. Jika faktor pada Fungsi 1 yang digunakan, maka 76,9% varian dari variabel yang memprediksi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak dapat dijelaskan oleh fungsi diskriminan yang terbentuk pada Fungsi 1, sisanya dapat dijelaskan oleh Fungsi 2 sebesar 23,1%.

Berdasarkan koefisien regresi pada Tabel 10, fungsi diskriminan adalah sebagai berikut:

Fungsi 1:
Z score = -2,01 + 16,37 TE – (9,04 x 10-9) SANG + 0,61 St_PS – 0,005 DER + 0,57St_Ind – (5,73 x 10-12) PU + 5,38 Pro – 17,70 PPS – 1,06 St_Kom + 0,14 St_Riska

dan Fungsi 2:
Z score = -0,85 + 7,71 TE – (5,53 x 10-9) SANG - 1,35 St_PS + 0,34 DER + 0,12 St_Ind - (8,88 x 10-12) PU + 1,78 Pro – 19,80 PPS – 0,64 S_Kom – 1,07 St_Ris

Rata-rata (centroid) dari masing-masing wajib pajak yang dikelompokkan menurut risiko ketidakpatuhannya adalah 0,517 pada Fungsi 1 dan -0, 097 pada Fungsi 2 (0,517; -0,097) untuk kelompok wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan rendah. Dengan penjelasan yang sama centroid untuk kelompok wajib pajak dengan tingkat risiko ketidakpatuhan menengah dan tinggi masing-masing adalah (-0,290; 0,403) dan (-0,778; -0,377) (Tabel 11).

Setelah fungsi diskriminan yang dihasilkan telah diuji dan ternyata secara nyata dapat membedakan wajib pajak ke dalam kelompok wajib pajak berisiko rendah, menengah dan tinggi, langkah selanjutnya adalah melihat seberapa baik (goodness of fit) fungsi diskriminan yang diperoleh dalam memprediksi wajib pajak yang terdapat dalam sampel. Perhitungan goodness of fit tersebut tampak pada Tabel 12. Dari perhitungan diketahui bahwa 57,4 % dari observasi mampu dipetakan secara benar oleh fungsi diskriminan yang dihasilkan. Terdapat 1.334 dari 2.324 observasi yang dipetakan dengan benar. Angka yang hampir sama diperoleh untuk cross-validation yang mencapai 57,3%.

4. Kesimpulan

Penelitian ini menjelaskan pengaruh variabel-variabel ketidakpatuhan pada risiko ketidakpatuhan wajib pajak badan di Indonesia. Penelitian ini juga berhasil membentuk fungsi diskriminan yang dapat digunakan untuk memprediksi tingkat risiko ketidakpatuhan wajib pajak; rendah, menengah dan tinggi, yang diukur dengan besaran koreksi penghasilan netto. Di sisi operasional, fungsi diskriminan seperti yang terbentuk dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar dalam pengelompokan wajib pajak ke dalam risiko ketidakpatuhan rendah, menengah dan tinggi yang selanjutnya dapat digunakan dalam pemilihan SPT wajib pajak yang akan diperiksa (audit-case selection). Dengan demikian, penentuan wajib pajak mana yang akan diperiksa didasarkan pada tingkat risiko ketidakpatuhan bahwa wajib pajak tersebut tidak patuh (risk-based approach).

Namun demikian, penelitian ini memiliki berbagai keterbatasan. Misalnya, jumlah sampel yang hanya 2.324 masih terlalu sedikit dibandingkan dengan jumlah wajib pajak badan yang ada di Indonesia. Beberapa variabel, misalnya variabel yang berkaitan dengan elemen SPT, tidak dapat digunakan dalam penelitian ini karena keterbatasan data. Penambahan jumlah sampel dan variabel penelitian akan dapat memperkaya hasil penelitian ini.

Untuk pengembangan temuan penelitian ini, penelitian yang perlu dilakukan di masa mendatang antara lain adalah dengan memasukkan variabel kepatuhan formal seperti ketepatan waktu pembayaran dan pelaporan pajak serta besaran tunggakan pajak ke dalam model analisis risiko ketidakpatuhan untuk mendapat gambaran pola ketidakpatuhan wajib pajak yang lebih komprehensif. Selain itu, penelitian juga dapat dikembangkan dengan melakukan analisis risiko ketidakpatuhan wajib pajak terhadap wajib pajak dalam satu bidang usaha tertentu, wajib pajak yang berdomisili di satu wilayah tertentu atau gabungan dari kedua hal tersebut di atas.


Daftar Pustaka

Ali, M.M., H.W. Cecil and J.A. Knolbett. The effects of tax rates and enforcement policies on taxpayer compliance: A study of self-employed taxpayers. American Economics Journal 29 (2), 186-202, 2001.

Allingham, M.G. and A. Sandmo. Income tax evasion: A theoritical Analysis. Journal of Public Economics, 1, 323-338, 1972.

Chattopadhyay, S. and Arindam Das-Gupta. The Personal income tax in India: Compliance costs and compliance behaviour of taxpayers. National Institute of Public Finance and Policy, New Delhi, 2002.

Erard, B. “The Income Tax Compliance Burden On Small And Medium-Sized Canadian Business.” A working paper prepared for Technical Committee on Business Taxation, 1997.

Forest, Adam. “Targeting Occupations To Increase Tax Revenue”. Journal of Economic Literature, 2004.

Joulfaian, David and Mark Rider. Tax Evasion by small business. Office of Tax Analysis, Washington, DC: U.S. Department of Treasury, 1998.

Krause, K. Tax complexity: problem or opportunity? Public Finance Review 28 (5), 395-414, 2000.

Organization for Economic and Co-orporation Development. Compliance Risk Management: Managing and Improving Tax Compliance. 2004.

_________. Compliance Risk Management: Audit Case Selection Systems. 2004.

Ritsema, Christina M., Deborah W. Thomas, Garuy D. Ferrier. Economic and Behavioral Determinants of Tax Compliance: Evidence from The 1997 Arkansas Tax Penalty Amnesty Program. A paper presented at the 2003 IRS Research Conference, June 2003.

Sommerfeld, Ray M., Silva A. Madeo, Kennet R. Andserson, and Betty R. Jackson. Concepts of Taxation 1994 edition. Fort Worth. The Dryden Press, Harcourt Brace College Publishers, 1994.

Trivedi, V. U., M. M. Shehata, and B. E. Lynn. Impact of Personal and Situational Factors on Tax Compliance: An Experimental Analysis. Journal of Business Ethics, Oktober 2003.

Tabel 1

Hasil Regresi Untuk Sampel Keseluruhan (Full Sample)

Variabel

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Tstat

Sig. Taraf Nyata
B Std. Error Beta
(Constant) 105.599 39.066 2.703 .007 ***
Tarif efektif (TE) -1665.047 324.626 -.097 -5.129 .000 ***
Penalti (SANG) .000 .000 -.565 -30.758 .000 ***
Pemegang saham (PS) 308.877 229.282 .038 1.389 .170 NS
DER -1.685 .675 -.040 -2.496 .013 **
Status industri (SI) -71.105 44.052 -.026 -1.614 .107 NS
Skala usaha (SU) .000 .000 .036 1.806 .071 *
Profitabilitas (Pro) -3935.023 243.888 -.524 -16.135 .000 ***
Pajak per penjualan (PPS) 22108.940 1548.889 .471 14.274 .000 ***
Status kompensasi (SK) 1499.889 100.145 .243 14.977 .000 ***
Status pemeriksaan (SP) -18.405 6.832 -.007 -2.694 .007 ***
Obs= 2324 R2= 0,652 RSS= 1263767768.477

    Keterangan: *** : signifikan pada a=1%, ** : signifikan pada a=5%, * : signifikan pada a=10%, NS=Tidak Signifikan

Tabel 2

Hasil Regresi Untuk Kelompok Wajib Pajak Risiko Rendah

Variabel

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Tstat

Sig. Taraf Nyata
B Std. Error Beta
(Constant) 3.379 .160 21.138 .000 ***
Tarif efektif -10.274 1.165 -.315 -8.822 .000 ***
Penalti .000 .000 -.147 -4.648 .000 ***
Pemegang saham .695 .411 .052 1.691 .091 *
DER -.056 .018 -.089 -3.116 .002 ***
Status Industri -.230 .145 -.046 -1.587 .113 NS
Skala usaha .000 .000 -.003 -.105 .916 NS
Profitabilitas -3.455 .970 -.297 -3.561 .000 ***
Pajak per penjualan 16.193 5.665 .242 2.858 .004 ***
Status kompensasi .214 .657 .010 .326 .745 NS
Status Pemeriksaan -.298 .143 -.061 -2.086 .037 **
Obs= 1126 R2= 0,606 RSS= 3808000.21

Keterangan : *** : signifikan pada a=1%, ** : signifikan pada a=5%, * : signifikan pada a=10%, NS=Tidak Signifikan

Tabel 3

Hasil Regresi Untuk Kelompok Wajib Pajak Risiko Menengah

Variabel

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Tstat

Sig. Taraf Nyata
B Std. Error Beta
(Constant) 21.273 .714 29.790 .000 ***
Tarif efektif -41.789 7.479 -.466 -5.588 .000 ***
Penalti .000 .000 -.257 -6.003 .000 ***
Pemegang saham 2.542 1.125 .056 2.258 .024 **
DER -.035 .002 -.473 -15.506 .000 ***
Status Industri -1.910 .220 -.218 -8.677 .000 ***
Skala usaha .000 .000 -.720 -15.065 .000 ***
Profitabilitas -168.753 14.294 -1.350 -11.806 .000 ***
Pajak per penjualan 780.456 112.111 .952 6.961 .000 ***
Status kompensasi -.801 .502 -.040 -1.597 .101 NS
Status Pemeriksaan -7.883 .455 -.756 -17.320 .000 ***
Obs= 719 R2= 0,578 RSS= 2631.79

    Keterangan: *** : signifikan pada a=1%, ** : signifikan pada a=5%, * : signifikan pada a=10%, NS=Tidak Signifikan

Tabel 4

Hasil Regresi Untuk Kelompok Wajib Pajak Risiko Tinggi

Variabel

Unstandardized Coefficients Standardized Coefficients Tstat

Sig. Taraf Nyata
B Std. Error Beta
(Constant) -148.266 64.351 -2.304 .022 **
tarif efektif -1116.875 383.161 -.032 -2.935 .003 ***
Penalti .000 .000 -.425 -8.318 .000 ***
pemegang saham 46.067 262.212 .003 .176 .861 NS
DER -215.235 5.669 -.697 -37.967 .000 ***
Status Industri -837.867 118.057 -.109 -7.097 .000 ***
Skala usaha .000 .000 .151 2.972 .003 ***
Profitabilitas -528.153 231.094 -.029 -2.286 .066 *
Pajak per penjualan 5098.117 7163.376 .016 .712 .477 NS
Status kompensasi 897.078 726.379 .110 1.235 .216 NS
Status Pemeriksaan -370.017 93.008 -.064 -3.978 .000 ***
Obs= 479 R2= 0,896 RSS= 219169992.83

    Keterangan:*** : signifikan pada a=1%, ** : signifikan pada a=5%, * : signifikan pada a=10%, NS=Tidak Signifikan

    Tabel 5

Rata-rata Prediktor Untuk Setiap Pengelompokan

Variabel Kelompok Wajib Pajak Total
Rendah Menengah Tinggi
Mean Std Deviation Mean Std Deviation Mean Std Deviation Mean Std Deviation
Tarif efektif .13793432 .059657886 .11242043 .032877556 .08318993 .050962765 .11875745 .055169448
Penalti 12845019 67089268.91 25890650 34361097.61 17315372 42016360.09 17802467 54223254.29
Pemegang saham .02131439 .144494382 .00417246 .064504568 .01461378 .120126359 .01462995 .120092126
Debt to equity ratio .70558369 3.079463736 12.098856 39.600691589 .35586326 1.939331482 4.15835760 22.767311122
Status industri .18472469 .388246502 .13073713 .337347323 .06889353 .253537786 .14414802 .351315352
Peredaran usaha 1.49E+010 3.687E+010 6.62E+009 1.676E+010 4.25E+009 8399893599 1.02E+010 2.796E+010
Profitabilitas .05772541 .167109049 .02208547 .023583483 .00588712 .095879762 .03601471 .126740477
Pajak per penjualan .00775017 .029089166 .00266128 .003595965 .00178770 .003345571 .00494684 .020581013
Status kompensasi .00799290 .089084549 .02225313 .147608371 .05845511 .234847305 .02280551 .149315136
Status pemeriksaan .20159858 .401372227 .08762170 .282940767 .15866388 .365744340 .15748709 .364337790

Tabel 6

Uji Kesamaan Rata-Rata Grup

Wilks' Lambda F df1 df2 Sig.
Tarif efektif .852 202.154 2 2321 .000
Penalti .989 12.854 2 2321 .000
Pemegang saham .996 4.484 2 2321 .011
DER .945 66.956 2 2321 .000
Status industri .984 19.324 2 2321 .000
Skala usaha .972 33.654 2 2321 .000
Profitabilitas .970 35.415 2 2321 .000
Pajak per penjualan .982 20.873 2 2321 .000
Status kompensasi .983 19.504 2 2321 .000
Status pemeriksaan .982 21.861 2 2321 .000

Tabel 7

Wilks' Lambda

Langkah

Jumlah Variabel Lambda

df1

df2

df3

Exact F
Statistik df1 df2 Sig.
1 1 .852 1 2 2321 202.154 2 2321.000 .000
2 2 .806 2 2 2321 132.095 4 4640.000 .000
3 3 .773 3 2 2321 105.968 6 4638.000 .000
4 4 .763 4 2 2321 83.881 8 4636.000 .000
5 5 .760 5 2 2321 68.215 10 4634.000 .000
6 6 .755 6 2 2321 58.228 12 4632.000 .000
7 7 .752 7 2 2321 50.539 14 4630.000 .000
8 8 .748 8 2 2321 45.258 16 4628.000 .000
9 9 .726 9 2 2321 44.526 18 4626.000 .000
10 10 .720 10 2 2321 41.255 20 4624.000 .000

Tabel 8

Uji Perbedaan Antar Kelompok Wajib Pajak

Fungsi Eigenvalue % of Variance Cumulative % Canonical Correlation
1 .281(a) 76.9 76.9 .468
2 .084(a) 23.1 100.0 .279

a First 2 canonical discriminant functions were used in the analysis.

Tabel 9

Uji Perbedaan Rata-Rata (Centroid) Fungsi Diskriminan

Test of Function(s) Wilks' Lambda Chi-square Df Sig.
1 through 2 .720 760.692 20 .000
2 .922 187.649 9 .000






Tabel 10

Fungsi Diskriminan

Variabel Fungsi
1 2
Tarif efektif 16.373 7.708
Penalti .000 .000
Pemegang saham .608 -1.353
DER -.005 .034
Status industri .536 .124
Skala usaha .000 .000
Profitabilitas 5.376 1.783
Pajak per penjualan -17.698 -19.804
Status kompensasi -1.061 -.640
Status pemeriksaan .136 -1.071
(Constant) -2.012 -.845

Tabel 11

Rata-Rata (Centroid) dari Tiap Grup

Kelompok Risiko Ketidakpatuhan Fungsi
1 2
Rendah .517 -.097
Menengah -.290 .403
Tinggi -.778 -.377


Tabel 12

Kelayakan Fungsi Diskriminan

Koreksi (banded) Classification Results b,c Total
<= 10.000000 10.000001 - 20.000000 20.000001+
Origi-nal Count <= 10.000000 611 380 135 1126
10.000001 - 20.000000 94 514 111 719
20.000001+ 52 218 209 479
% <= 10.000000 54.3 33.7 12.0 100.0
10.000001 - 20.000000 13.1 71.5 15.4 100.0
20.000001+ 10.9 45.5 43.6 100.0
Cross-validated Counta <= 10.000000 609 381 136 1126
10.000001 - 20.000000 94 514 111 719
20.000001+ 52 218 209 479
% <= 10.000000 54.1 33.8 12.1 100.0
10.000001 - 20.000000 13.1 71.5 15.4 100.0
20.000001+ 10.9 45.5 43.6 100.0
a Cross validation is done only for those cases in the analysis. In cross validation, each case is classified by the functions derived from all cases other than that case.
b 57.4% of original grouped cases correctly classified, c57.3% of cross-validated grouped cases correctly classified
Tulisan ini ditulis bersama Wahyu Santoso dan dimuat di buku "Menuju Sistem dan Administrasi Perpajakan Berkelas Dunia: Studi Perpajakan Di Indonesia dengan Inspirasi Pengalaman Jepang", Buku Kedua, DJP-JICA, Maret 2008.

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Artikel yang sangat menarik mas Hamu

cuma ada sedikit yang menggelitik saya yaitu mengenai metode penentuan angka rasio EBIT

darimana mas Hamu tahu bahwa dasar untuk menentukan posisi sebuah bank tersebut adalah dibawah 25%?

adakah studi yang menunjukkan bahwa jika kinerja dibawah 25% maka ada indikasi bahwa bank tersebut beresiko tidak patuh?
terima kasih

tomi

Unknown mengatakan...

Terima kasih komennya Pak Tomi, tapi ini agak sedikit salah kamar karena yg Anda komentari bukan postingan yang ini tapi postingan yg lain. Anyway, komen Anda tentang angka 25% ini bukan yang pertama. Sehingga saya harus baca kembali tulisan saya ini. Sebenarnya, maksud 25% bukanlah seperti itu tetapi ini kuartil dari nilai rata-rata rasio yang dianalisa. Logikanya begini, kalau kita pakai distribusi normal, dalam satu kelompok perusahaan sejenis, rata-rata satu perusahaan semestinya tidak menyimpang jauh dari rata-rata industrinya. Artinya, kinerja perusahaan tsb paralel dgn kinerja industri. Nah, indikasi risiko ketidakpatuhan tinggi muncul manakala kinerja satu perusahaan menyimpang jauh dari kinerja industrinya. Parameter apa yg bisa dipakai utk menilai hal ini? Salah satunya ya itu tadi, apakah kinerja satu perusahaan (rasio yg diuji) berada di bawah besaran kuartil I (25% dari nilai rata2 industri). Kalau iya, ini indikasi awal ada ketidakpatuhan makanya perlu diteliti kenapa bisa begitu jauh dari rata2 industrinya.