16 Maret 2009

Champion’s League: Ini Soal Tradisi

Buat sebagian besar masyarakat Indonesia, pulang kampung, entah itu dalam rangka hari raya atau tidak, menjadi ritual yang luar biasa mengasyikkan. Orang-orang akan dengan sangat semangat dan antusiasme yang luar biasa mempersiapkan segala sesuatunya sehingga acara 'pulang kampung'nya menjadi kenangan yang terindah. Barangkali buat mereka yang telah lama meninggalkan kota/kampung asal untuk berjibaku dengan kehidupan di rantau, setiap kepulangan ke kota/kampung asal dapat menumbuhkan semangat-semangat baru, harapan baru, dan optimisme baru untuk menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan selanjutnya di rantau. Ya, semacam me-recharge baterai kehidupan dengan energi, semangat, harapan dan optimisme baru. Menemukan lagi suasana yang melingkupi diri kita saat kita tumbuh kembang, bertemu kembali dengan orang-orang yang ikut memberikan warna dalam awal-awal kehidupan kita atau barangkali sekedar berkunjung untuk melihat dan melakukan ziarah ke makam orang tua, akan memberikan efek spiritual yang dahsyat bagi sementara orang. Demikian, kalau pulang kampung dimaknai dengan sikap mental recharge.

Tak jarang pula orang pulang kampung didasari pada sikap mental pamer. Pulang kampung untuk sekedar memamerkan keberhasilan-keberhasilan yang telah diraih di rantau. Biasanya, mentalitas pamer ini ditunjukkan dengan penggunaan berbagai atribut kehidupan perkotaan, dalam beberapa kasus bahkan berlebihan, ketika mereka sedang berada di kampung halaman. Menenteng hape kesana kemari, meski tak ada sinyal sekalipun, memasang headset untuk mendengar lagu dari pemutar musik portabel, penggunaan dialek lu-gue dsb merupakan berbagai contoh perilaku mentalitas pamer yang dapat Anda temui ketika sedang pulang kampung waktu lebaran.

Ada perbedaan mendasar dan besar antara kedua jenis mentalitas pulang kampung tadi. Yang pertama cenderung khusyuk dan lebih bersifat substantial, sehingga persiapan-persiapan yang dilakukannya pun lebih terkait dengan hal-hal yang sifatnya mulia. Yang kedua, biasanya lebih bersifat hura-hura dan artificial. Hasilnya pun sudah pasti akan berbeda, yang pertama ketika datang kembali ke rantau penuh dengan kesegaran dan semangat sementara yang kedua barangkali datang lagi ke rantau penuh dengan kerisauan karena begitu memaksakan ketika pulang kampung sampai-sampai mesti berhutang untuk tampil gaya….

***

Babak pertama fase knock-out UEFA Champion's League (UCL) telah usai dan manyisakan delapan tim untuk masuk fase kedua, babak 8 besar. Sama seperti tahun sebelumnya, keempat wakil EPL mendominasi delapan besar; Liverpool, Manchester United, Arsenal dan Chelsea. Beberapa catatan menarik dari hasil pertandingan babak 16 besar UCL kembali bisa dilihat. Sampai di sini terbukti bahwa gabungan sepak bola cepat model Britania Raya, kekuatan modal raksasa serta kejelian beberapa pelatih jenius mampu mendominasi kompetisi para jura liga Eropa itu. Pesona Liga primer yang mengkilat dalam satu dekade terakhir mampu menyedot para pemodal besar untuk membenamkan duitnya di berbagai klub Liga Primer. Dengan dukungan dana yang tidak ada batasnya itu, anggota Liga Primer berhasil menarik bakat-akat terbaik didunia sepak bola untuk beradu jurus kepintaran mengolah bola.

Sekedar contoh, Chelsea. Klub yang tadinya bukan siapa-siapa ini tiba-tiba menjelma menjadi kekuatan yang cukup mengejutkan ketika seorang kaya raya asal Rusia, Abramovich, mengambil alih klub. Dengan dana milyar dollar, dia datangkan bakat-bakat sepak bola terbaik dunia dan bang! Dua kali tropi Juara EPL berhasil di sambar, plus beberapa kali kesempatan masuk ke babak-babak akhir UCL. Tahun lalu bahkan mereka sampai babak final dan hanya kalah adu kiper lawan Manchester United. Demikian juga Arsenal, berbekal kejeniusan pelatih Arsene Wenger yang ahli meracik bakat-bakat muda, menjelma menjadi kekuatan yang secara tardisional menghuni papan atas EPL dan untuk pertama kalinya masuk babak final UCL tahun 2006 sebelum akhirnya dibekuk Barcelona 1-2.

Masalahnya, cukupkah modal besar dan bakat-bakat muda yang luar biasa itu untuk merengkuh gelar terbaik di UCL? Sejarah mencatat bahwa tidak banyak klub yang mampu meraih gelar terbaik UCL, sebelumnya disebut Piala Champion's. Tercatat tak lebih dari tiga klub yang mampu meraih gelar terbaik lebih dari empat kali dalam sejarah penyelenggaraan turnamen ini. Hanya Real Madrid, AC Milan dan Liverpool yang pernah memenangi paling tidak lima kali juara UCL/Piala Champion's. Bahkan beberapa klub yang begitu dominan di dalam liga domestiknya, menjadi tidak berdaya tatkala bertanding di UCL. Kegagalan Intermilan dan Olimpic Lyon di UCL dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan hal itu. Begitu perkasa di liga domestik, sehingga mampu meraih tujuh kali juara Liga Perancis ternyata tak menjamin Lyon mampu melewati, bahkan, babak 16 besar musim 2007/2008 dan 2008/2009. Demikian juga halnya Intermilan. Dua kali takluk pada klub-klub Inggris: melawan Liverpool di 2008/2009 dan terakhir Machester United.

Pertanyaan berikutnya adalah, apa yang membuat beberapa klub menjadi begitu perkasa ketika tampil di UCL sementara mereka tengah terseok-seok di liga domestik? Anda tentu masih ingat final UCL 2006/2007, ketika AC Milan bertemu Liverpool di partai puncak UCL. Kedua klub waktu itu tengah mengalami hari-hari buruknya dalam liga domestiknya, menempati urutan keempat klasemen, tetapi mereka tampil istimewa di UCL mengalahkan para pimpinan liga domestiknya. Jawabannya barangkali dapat diperoleh melalui analogi mentalitas pulang kampung tadi.

Bagi beberapa klub, main di UCL ibarat pulang kampung dengan mentalitas recharge. Karena faktor kebiasaan tampil di Piala Champion's yang dimulai sejak puluhan tahun yang lalu, penampilan klub di UCL menjadi tradisi. Sekedar kilas balik, sebelum berubah format menjadi UCL seperti saat ini, Piala Champion's hanya diikuti oleh para Juara Liga! Sehingga, tidak mudah memang untuk bisa tampil di Piala Champion's waktu itu. Sekaligus menujukkan betapa hebatnya klub-klub yang mampu meraih juara Piala Champion's. Dan, tradisi yang dilakoni dengan kesungguhan, semangat, dan determinasi tinggi serta konsistensi akan berbuah pada fakta sejarah, bahwa tidak setiap klub mampu tampil baik dalam UCL. Demikianlah, untuk beberapa klub juara masa lalu, partisipasi mereka pada UCL adalah bukan sekedar partisipasi tetapi akan menjadi sarana bagi mereka untuk marasakan kembali kenangan pada era kejayaan masa lalu, untuk menuntaskan kerinduan pada kejayaan masa lalu. Tak heran mereka menjadi sangat termotivasi dan mampu mengeluarkan kemampuan terbaik mereka meski mereka sedang tidak bagus di liga domestik. Bahkan seorang Rafa Benitezpun mungkin tidak pernah menduga timnya bisa tampil begitu apik dan berhasil menggulung Real madrid 4-0 di Anfield kemarin. Sang pelatih bisa jadi tak mengira para pemainnya bisa tampil begitu hebat dan dominan hingga Madrid dibuat seolah-olah sekumpulan anak-anak yang sedang belajar main bola…! Determinasi, kerinduan pada kejayaan masa lalu, konsistensi dan tradisi juara telah masuk ke dalam diri setiap pemain Liverpool.

Bagi sementara klub yang lain, partisipasi dalam UCL adalah lebih dikuasai oleh mentalitas pamer. Mereka sangat bernafsu bisa menjadi yang terbaik, maka jalan apapun ditempuh. Dengan kekuatan modal yang memungkinkan, dibeli semua bakat-bakat terbaik dan pelatih terbaik. Tapi, para jutawan pebisnis bola ini tidak ingat, bahwa juara bukanlah satu hal yang dapat dicapai secara instan. Sehingga, seorang pelatih akan segera dipecat kalau target juara tidak diraih. Bakat muda yang luar biasa tidak memperoleh kesempatan tampil yang memadai karena sang pemilik lebih mengutamakan pemain yang sudah jadi untuk memudahkan meraih ambisinya: juara UCL. Padahal, diperlukan keteguhan, ketekunan, keinginan dan kerja keras untuk dapat menggapai itu. Maka tak heran, kalau sekumpulan bintang sepak bola a la Intermilan dan Chelsea belum juga mampu meraih gelar juara dalam sejarah UCL, meski telah berganti pelatih beberapa kali! Tetapi sebaliknya, sekumpulan pemain tua seperti yang ada di AC Milan mampu menembus final tiga kali dalam kurun waktu lima tahun, dua kali di antaranya menjadi juara! Manchester United barangkali merupakan contoh bagaimana keteguhan, ketekunan dan kerja keras diaplikasikan. Pembinaan yang berkelanjutan, Opa Fergie, sudah melatih MU sejak beberapa pemain yang diasuhnya sekarang bahkan belum lahir, pada akhirnya menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Prestasi MU dalam beberapa tahun terakhir, pasti berkat usaha pembinaan berkelanjutan dari seorang pelatih yang menangani satu tim dalam jangka waktu yang sangat lama. Dan juga, pastinya dukungan dan kesabaran pemilik dan supporter setia. Arsenal, dengan konsistensinya menggunakan pemain muda dan permainan menyerang, hampir meraih ambisinya tatkala berhasil masuk babak final. Hanya saja, sejarah tampaknya belum berpihak pada pasukan muda Arsene Wenger, mereka dituntut untuk lebih bersabar dan bekerja lebih keras lagi!

***

Pertanyaan terakhir, bagaimana peluang para klub juara itu? Jawabannya tergantung, bagaimana mereka mampu menjaga mentalitas recharge pulang kampung. Untuk klub-klub yang lain, bagaimana mereka mampu mengubah mentalitas pamer nafsu menjadi mentalitas recharge? Mampukah mereka, mari kita tunggu jawabannya akhir Mei nanti….

Tidak ada komentar: