Contoh Kasus Wajib Pajak Perbankan
Pendahuluan
Rasio merupakan alat yang penting dalam melakukan analisa laporan keuangan. Rasio (%) digunakan untuk mengkonversi angka-angka dalam laporan keuangan ke dalam bentuk yang lebih layak untuk diperbandingkan dengan data tahun-tahun lainnya untuk satu wajib pajak (vertikal) ataupun dibandingkan antar wajib pajak dalam bidang industri tertentu (horizontal). Rasio bisa lebih menggambarkan posisi satu wajib pajak dibandingkan dengan wajib pajak lainnya dalam satu industri yang sama dibandingkan dengan angka-angka rupiah laporan keuangan. Secara umum, analisa rasio akan berguna untuk:
- memahami kinerja satu industri;
- membandingkan kinerja perusahaan (wajib pajak) dengan benchmark-nya;
- melakukan komparasi dengan tahun-tahun lainya;
- membantu dalam menentukan tingkat risiko ketidakpatuhan di wajib pajak.
Salah satu rasio yang bisa digunakan untuk mengukur kinerja operasi perusahaan (wajib pajak) adalah EBIT margin, rasio yang menggambarkan kemampuan perusahaan menghasilkan laba tanpa melihat kebijakan pembiayaan yang dilakukan perusahaan. EBIT dihitung dengan formula sebagai berikut: [laba operasi sebelum pajak + biaya bunga]/penjualan X 100%. Membandingkan EBIT margin satu perusahaan dengan perusahaan lain memberikan informasi yang lebih baik tentang bagaimana kinerja perusahaan tersebut dibandingkan dengan perusahaan lain dalam satu industri karena tidak ada pengaruh kebijakan pembiayaan yang digunakan perusahaan yang mungkin berbeda-beda. Selisih antara EBIT dengan laba bersih (net profit) menjelaskan tingkat biaya bunga yang dihadapi wajib pajak sekaligus menggambarkan jumlah hutang di neraca. Dalam kaitannya dengan benchmark, perhatian perlu diberikan pada wajib pajak yang rasio EBIT marginnya di bawah rata-rata industri (benchmark).
Untuk menentukan benchmark, ditentukan EBIT setiap wajib pajak yang ada dalam satu industri untuk kemudian dicari rata-rata dan kuartil. Nilai rasio EBIT seharusnya berada di antara besaran kuartil I dan kuartil III. Wajib pajak dengan besaran EBIT di bawah besaran kuartil I dapat dianggap sebagai wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan tinggi. Beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa satu wajib pajak nilai rasionya di bawah besaran kuartil I adalah:
- manajemen wajib pajak yang tidak sehat;
- wajib pajak sedang dalam tahap pengembangan pasar/produk baru;
- wajib pajak tergolong pemain baru dalam industri;
- wajib pajak sedang dalam tahap penelitian dan pengembangan, perluasan usaha atau promosi.
Apabila keempat hal tersebut tidak ada di wajib pajak, maka ini menunjukkan bahwa wajib pajak kemungkinan berusaha mengecilkan beban pajaknya dan perlu mendapat perhatian serius untuk mencari tahu modus yang digunakan wajib pajak.
Studi Kasus Wajib Pajak Perbankan
Dalam tulisan ini akan dijelaskan bagaimana analisa rasio seperti dijelaskan dapat di atas diterapkan dalam industri perbankan. Data yang digunakan adalah laporan publikasi perbankan di Bank Indonesia (BI), meliputi laporan laba rugi dan neraca untuk tahun pajak 2007.
Langkah pertama dalam analisa kepatuhan ini adalah mengelompokkan wajib pajak berdasarkan jenis dan nilai aset. Pengelompkan ini penting untuk meningkatkan daya kesebandingan di antara wajib pajak yang dianalisa. Pengelompokan berdasarkan nilai aset didasarkan pada asumsi bahwa dengan nilai aset akan mencerminkan skala ekonomi dari kegiatan usaha yang dilakukan wajib pajak. Pengelompokan ini juga untuk mendukung asumsi bahwa wajib pajak dalam satu industri tertentu dan yang berada dalam skala ekonomi yang sama akan mempunyai perilaku biaya yang cenderung sama. Pengelompokan wajib pajak dapat dilihat sebagai berikut:
Kelompok Wajib Pajak | Dasar Pengelompokan | |
Jenis | Nilai Aset | |
|
| |
|
| |
|
|
Parameter Kepatuhan
Rasio yang digunakan sebagai parameter tingkat kepatuhan wajib pajak adalah rasio antara laba sebelum pajak (EBT) dengan jumlah pendapatan operasional. Rasio ini mirip dengan rasio EBIT bagi wajib pajak dalam industri lain, seperti manufkatur, perdagangan dan jasa lainnya. Laba sebelum pajak industri perbankan adalah selisih bersih antara pendapatan bunga (bunga atas pinjaman yang diberikan) dan pendapatan lainnya dikurangi dengan biaya bunga (bunga atas simpanan pihak ketiga) dan biaya operasional lainnya. Rasio EBT dengan pendapatan operasional akan menggambarkan banyak hal yang terkait dengan kinerja operasional wajib pajak; antara lain efisiensi operasional wajib pajak dan besaran pajak penghasilan badan terhutang.
Penentuan Benchmark
Untuk menentukan rata kinerja industri yang nantinya akan dijadikan benchamrk kinerja wajib pajak perbankan, langkah pertama yang dilakukan adalah menentukan rata-rata kinerja industri untuk setiap kelompok wajib pajak (berdasarkan jenis dan nilai aset). Rata-rata kinerja industri ini ditentukan dengan jalan:
- Untuk setiap kelompok wajib pajak dicari nilai rata-rata dan kuartil EBT untuk tiap-tiap tahun pajak;
- Setelah kuartil dapat ditentukan, berikutnya adalah mengeliminasi wajib pajak yang EBT-nya di bawah nilai kuartil pertama dan yang EBT-nya di atas kuartil ketiga;
- Dari nilai EBT dari wajib pajak yang masih tersisa, yang berada di antara kuartil 1 dan kuartil 3, kemudian ditentukan lagi nilai rata-ratanya;
- Ditentukan EBT wajib pajak yang paling dekat dengan nilai rata-rata EBT pada langkah ketiga tersebut. EBT wajib pajak inilah yang kemudian dijadikan benchmark kinerja wajib pajak dalam kelompok dan tahun pajak terkait.
Sebagai contoh, untuk tahun pajak 2007 dan kelompok wajib pajak Nasional Devisa dengan nilai aset di atas Rp20 triliun. Wajib pajak yang masuk dalam kelompok ini dan beberapa rasio keuangan relevan adalah:
Wajib Pajak | GPM | NPM | EBT/PO | BOPO | ||
ID | 441 | 0.653 | 0.399 | 0.170 | 0.158 | 0.839 |
ID | 014 | 0.436 | 0.593 | 0.389 | 0.337 | 0.657 |
ID | 011 | 0.884 | 0.566 | 0.270 | 0.237 | 0.664 |
ID | 016 | 0.772 | 0.484 | 0.132 | 0.112 | 0.842 |
ID | 008 | 0.538 | 0.532 | 0.278 | 0.242 | 0.700 |
ID | 426 | 0.470 | 0.428 | 0.227 | 0.209 | 0.763 |
ID | 009 | 0.606 | 0.531 | 0.216 | 0.196 | 0.763 |
ID | 022 | 0.935 | 0.505 | 0.202 | 0.183 | 0.741 |
ID | 028 | 0.894 | 0.449 | 0.134 | 0.119 | 0.842 |
ID | 013 | 0.879 | 0.573 | 0.177 | 0.142 | 0.766 |
ID | 002 | 0.694 | 0.711 | 0.322 | 0.303 | 0.637 |
ID | 200 | 0.924 | 0.436 | 0.156 | 0.147 | 0.856 |
ID | 026 | 0.597 | 0.559 | 0.280 | 0.224 | 0.718 |
ID | 019 | 0.942 | 0.52 | 0.304 | 0.274 | 0.720 |
Sumber: Laporan Publikasi BI 2007 diolah
Dengan bantuan SPSS dapat diperoleh nilai rata-rata dan median serta kuartil EBT/PO bank-bank dengan aset di atas Rp20 triliun.
Rata-rata EBT untuk Bank dengan Aset Rp20 T
N | Valid | 14 |
Missing | 1 | |
Mean | 20.58071 | |
Median | 20.22500 | |
Variance | 46.612 | |
Skewness | .420 | |
Std. Error of Skewness | .597 | |
Percentiles | 25 | 14.54750 |
50 | 20.22500 | |
75 | 25.02500 |
Dapat dilihat bahwa mean dan median dari data EBT/PO untuk bank dengan aset di atas Rp20 triliun tahun pajak 2007 tidak berbeda jauh. Hal ini menjelaskan bahwa data terdistribusi secara normal dan penggunaan mean ataupun median dapat dilakukan. Setelah bank dengan nilai EBT/PO di bawah 0.145 dan di atas 0.250 dikeluarkan dan dihitung kembali nilai rata-rata EBT/PO dari wajib pajak yang tersisa diperloeh besaran-besaran sebagai berikut:
EBT/PO
N | Valid | 10 |
Mean | .20120 | |
Median | .20250 | |
Minimum | .142 | |
Maximum | .274 |
Sama seperti data awal, disini dapat dilihat bahwa mean dan median tidak berbeda signifikan. Dengan demikian, mean ataupun median dapat digunakan. Berdasarkan langkah-langkah penentuan benchmark seperti dijelaskan di atas, maka diperoleh rata-rata kinerja industri sebesar (diukur dengan besaran EBT/PO) 0.201. Kalau dilihat dari Tabel Kelompok Wajib Pajak, wajib pajak bank nasional devisa tahun pajak 2007dengan besar EBT/PO yang paling mendekati nilai rata-rata adalah ID426. Yaitu sebesar 0.209. Oleh karena itu, berdasarkan metode rata-rata kinerja industri seperti dijelaskan di muka, ID426 dapat dijadikan benchmark untuk tahun pajak 2007. Dengan demikian terdapat tujuh (dari 15) wajib pajak bank nasional devisa dengan aset di atas Rp20 triliun yang kinerjanya di bawah benchmark, yaitu (1) ID441 (EBT 0.158); (2) ID016 (0.112); (3) ID009 (0.196); (4) ID022(0.183); (5) ID028 (0.119); (6) ID200 (0.142); dan (7) ID013 (0.142).
Identifikasi Risiko Ketidakpatuhan Wajib Pajak Yang Di Bawah Benchmark
Setelah wajib pajak yang di bawah benchmark dapat diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah melakukan penelitian lebih dalam terhadap wajib pajak-wajib pajak tersebut. Secara ringkas, kinerja keuangan wajib pajak yang di bawah benchmark dapat disarikan sebagai berikut:
Tabel Rasio Kinerja Keuangan Bank Benchmark dan Bank Yang DI Bawah Benchmark
Wajib Pajak | GPM | GPM/PO | NPM | EBT/PO | BOPO | Pengurang Penghasilan |
ID426 (benchmark) | 42.79% | 39.40% | 22.66% | 20.86% | 76.35% | 18.54% |
ID441 | 39.90% | 37.00% | 16.99% | 15.76% | 83.86% | 21.24% |
ID016 | 48.43% | 41.36% | 13.17% | 11.25% | 84.19% | 30.12% |
ID022 | 50.54% | 45.76% | 20.16% | 18.26% | 74.11% | 27.51% |
ID028 | 44.92% | 39.82% | 13.41% | 11.89% | 84.24% | 27.93% |
ID013 | 57.31% | 45.98% | 17.67% | 14.18% | 76.58% | 31.80% |
Berdasarkan tabel rasio di atas, dapat dilihat bahwa dilihat dari sisi gross profit margin (GPM), dalam hal ini adalah selisih antara bunga pinjaman dengan bunga simpanan (net interest income) dibagi dengan pendapatan bunga, hampir semua bank di bawah benchmark (BANK-BANK), kecuali ID441, lebih besar dari pada GPM ID426. Dilihat dari rasio GPM/PO (net interest income/pendapatan operasional), rasio ini cenderung lebih kecil dibandingkan dengan GPM. Hal ini menunjukkan bahwa wajib pajak mempunyai pendapatan operasional non-bunga. Dalam kasus ini, dapat disimpulkan bahwa ID426 memperoleh pendapatan operasional non-bunga relatif lebih kecil (selisih antara GPM dengan GPM/PO sebesar 3,39%) dibandingkan dengan BANK yang lain (antara 2,9% s.d. 11,33%). Salah satu alasan yang mungkin dapat menjelaskan ini adalah besaran fee-based income dari setiap bank. Hal lain yang dapat dikaitkan dengan selisih besaran GPM vs. GPM/PO adalah PPN atas berbagai jasa yang dilakukan oleh bank. Bagaimana pelaksanaan kewajiban PPn dari bank-bank tersebut merupakan isu yang perlu dikaji lebih dalam.
Selanjutnya, dapat juga dilihat bahwa faktor yang menyebabkan rendahnya EBT/PO pada BANK-BANK dibandingkan dengan ID426 yaitu besarnya biaya pengurang penghasilan dalam menghitung penghasilan kena pajak (EBT). Terlihat bahwa ID426 hanya mengklaim pengurang penghasilan sebesar 18,54% dari total pendapatan operasional. Sedangkan BANK lain, besaran pengurang penghasilan bergerak antara 21,24% (ID441) sampai dengan 31,8% (ID013). Kalau dilihat dari besaran BOPO, yang menunjukkan besarnya biaya operasional terhadap pendapatan operasional, dapat disimpulkan bahwa BANK-BANK relatif lebih efisien dibandingkan dengan ID426. Berdasarkan besaran BOPO juga, dapat dilihat bahwa besarnya EBT lebih kecil dibandingkan dengan selisih antara pendapatan operasional dengan biaya operasionalnya (100%-BOPO). Perlu dilihat lebih lanjut komponen pengurang penghasilan dan koreksi-koreksi fiskal yang dilakukan wajib pajak.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah wajib pajak yang kinerjanya di bawah benchmark merupakan wajib pajak yang tidak patuh? Untuk menjawab pertanyaan ini perlu lebih dahulu dipahami bahwa ada faktor-faktor yang dapat menjelaskan mengapa satu wajib pajak nilai rata-rata rasionya di bawah benchmark, yaitu:
- manajemen wajib pajak yang tidak sehat;
- wajib pajak sedang dalam tahap pengembangan pasar/produk baru;
- wajib pajak tergolong pemain baru dalam industri;
- wajib pajak sedang dalam tahap penelitian dan pengembangan, perluasan usaha atau promosi.
Apabila keempat hal tersebut tidak ada di wajib pajak, maka ini menunjukkan bahwa wajib pajak kemungkinan berusaha mengecilkan beban pajaknya dan perlu mendapat perhatian serius untuk mencari tahu modus yang digunakan wajib pajak.
Sekarang, mari kita lihat satu per satu apakah kempat faktor tersebut relevan dengan wajib pajak bank yang berada di bawah benchmark. Secara umum, industri perbankan di Indonesia adalah industri yang sangat ketat pengaturannya (well-regulated) karena sifatnya yang strategis dan mangandalkan kepercayaan. Hal ini memberikan keyakinan bahwa secara umum wajib pajak bank dikelola dengan sangat baik oleh pihak manajemen. Oleh karena itu, hampir bisa dipastikan bahwa faktor manajemen yang tidak sehat tidak ada di sektor perbankan.
Ketiga faktor lainnya, siklus wajib pajak dalam tahap pengembangan, pemain baru dan perluasan usaha adalah mirip satu dengan yang lainnya. Ada beberapa hal yang membuktikan apakah satu perusahaan sedang berada dalam tahap pengembangan, pemain baru atau perluasan usaha. Pertama, perusahaan yang sedang berada dalam tahap ini akan cenderung menambah tenaga kerja. Penambahan tenaga kerja sangat dibutuhkan oleh perusahaan yang sedang dalam tahap pengembangan untuk, misalnya, membuka cabang baru, memperluas jaringan pemasaran dsb. Kedua, perusahaan dalam tahap ini juga akan cenderung untuk mengakumulasi aktiva yang ditandai dengan peningkatan signifikan jumlah aktiva di neraca perusahaan. Ketiga, terdapat pertumbuhan yang signifikan pada pandapatan operasional. Namun demikian, pertumbuhan signifikan pendapatan operasional tidak serta merta disertai dengan pertumbuhan laba.
Apabila hasil penelitian terhadap faktor-faktor yang menggambarkan adanya pengembangan usaha wajib pajak menunjukkan bahwa wajib pajak tidak sedang dalam tahap pengembangan, maka kecurigaan profesional (professional sceptism) bahwa ada ‘sesuatu yang salah dengan wajib pajak’ harus mulai dimunculkan dan dibuktikan. Tentu saja ini bukan perkara mudah, tetapi mutlak untuk dilakukan sehingga diperoleh profil yang lengkap atas perilaku ketidakatuhan wajib pajak.
Satu hal yang perlu diingat adalah satu wajib pajak tidak selamanya akan berada dalam tahap pengembangan. Wajib pajak yang sudah berada dalam satu industri tertentu yang lama, mungkin sudah tidak dalam tahap pengembangan sehingga keberadaan wajib pajak tersebut di bawah benchmark industrinya perlu mendapat perhatian yang lebih serius. Untuk meningkatkan nilai kesebandingan dalam pendekatan benchmarking, perlu dilihat juga posisi dalam siklus hidup perusahaan yang dijadikan benchmark, apakah masih dalam tahap pengembangan atau sudah dalam tahap maturity. Penyesuaian perlu dilakukan apabila antara wajib pajak benchmark dengan wajib pajak di bawah benchmark yang sedang diteliti tidak dalam tahap siklus hidup yang sama.
Penutup
Benchmarking merupakan salah satu alat manajemen (management tool), yang dalam kasus pengawasan wajib pajak dapat digunakan sebagai alat untuk mendeteksi risiko ketidakpatuhan. Agar efektif tujuan benchmarking, penggunaannya perlu dilakukan secara bijaksana. Sebagai contoh, harus ada pemahaman awal bahwa wajib pajak yang kinerjanya di bawah benchmark belum tentu tidak patuh. Hal tersebut ‘baru’ mengindikasikan bahwa ada kemungkinan risiko ketidakpatuhan yang muncul. Untuk itu, setelah benchmarking perlu diikuti dengan metode-metode lain untuk menguji apakah ketidakpatuhan tersebut benar-benar ada.
Referensi
Compliance Measurement, Centre for Tax Policy and Administration OECD (2001) dapat diambil dari sini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar