05 September 2008

Analisis Laporan Keuangan Sebagai Alat Pengukur Kepatuhan Wajib Pajak*)

Analisis Laporan Keuangan Sebagai Alat Pengukur Kepatuhan Wajib Pajak*)
Umum
Mengukur kepatuhan wajib pajak dapat dilakukan dengan berbagai cara. Antara lain menggunakan data hasil pemeriksaan untuk mengetahui sejauh mana laporan wajib pajak berbeda dengan hasil pemeriksaan. Selain itu, kepatuhan wajib pajak juga dapat diukur dengan menggunakan perbandingan data keuangan yang ada di dalam laporan keuangan, yang juga biasa disebut dengan analisis rasio. Ada beberapa jenis analisa rasio yang dapat dilakukan, yaitu:
1. Analisis horisontal
2. Analisis vertikal
3. Rasio profitabilitas, dan
4. Rasio struktur modal.
Namun perlu dicermati bahwa akan selalu ada perbedaan antara besaran-besaran yang ada di dalam laporan keuangan komersial dan fiskal. Hal ini disebabkan adanya perbedaan perlakukan antara akuntansi komersial dan pajak atas transaksi-transaksi wajib pajak. Contoh yang paling mudah adalah adanya biaya-biaya yang tidak dapat dikurangkan untuk menghitung penghasilan kena pajak. Sedangkan di akuntansi komersial tidak ada.
Penggunaan rasio mana yang akan digunakan dalam mengukur kepatuhan wajib pajak tergantung pada jenis usaha wajib pajak dan risiko ketidakpatuhan apa yang akan digali. Misalnya, rasio profitabilitas akan lebih pas untuk mengetahui kemungkinan bahwa wajib pajak melakukan pengalihan keuntungan ke luar negeri (offshore profit shifting).
Untuk lebih mendayagunakan analisa rasio, perlu dilakukan penetapan standar kinerja operasional untuk wajib pajak dalam satu bidang usaha tertentu atau dibuat satu benchmark (patokan) kinerja yang nantinya akan digunakan untuk mengukur apakah kinerja satu wajib pajak kurang, sesuai atau melebihi benchmark-nya. Dalam hal ini, hal penting yang perlu diperhatikan adalah proses pembuatan benchmark itu sendiri. Metode statistik seperti rata-rata, median, simpangan dan simpangan baku akan sangat membantu dalam membuat benchmark yang dapat diandalkan. Hal lain yang juga tidak kalah penting adalah data yang digunakan untuk membuat benchmark dan analisanya. Perlu juga diketahui variabel-variabel yang dianggap mewakili dalam menentukan kinerja satu wajib pajak dalam industri tertentu.
Analisis Laporan Keuangan
1. Analisis Horisontal
Analisis horisontal ada analisis yang membandingkan data laporan keuangan satu tahun pajak dengan tahun-tahun pajak lainnya. Perubahan (%) diukur dengan membandingkan antara selisih data satu tahun (tahun dasar) dengan tahun lainnya dibagi dengan data tahun dasar. Persentase perubahan ini kemudian dievaluasi dan dilihat signifikansinya bagi wajib pajak tersebut secara keseluruhan.
Contoh, biaya pemasaran tahun 2000 sebesar 1000. Biaya yang sama pada tahun 1999 sebesar 800. Dalam analisis horisontal, terlihat bahwa biaya pemasaran tahun 2000 mengalami kenaikan sebesar 25%((1000-800)/800) atau biaya pemasaran tahun 2000 satu seperempat kali biaya pemasaran tahun 1999. Analsisi horisontal juga disebut dengan analisa komparasi dan dilakukan baik terhadap laporan rugi laba maupun neraca. Analisis ini berguna untuk melihat kecenderungan kinerja wajib pajak. Oleh karena itu, sebaiknya analisa komparasi dilakukan untuk paling tidak lima tahun. Dengan demikian, akan kelihatan siklus usaha wajib pajak dalam jangka waktu menengah. Banyaknya data yang digunakan untuk analisa juga dapat meningkatkan akurasi prediksi yang akan dilakukan.
2. Analisis Vertikal
Analisis vertikal dilakukan untuk mengetahui seberapa kontribusi setiap item dalam laporan keuangan terhadap nilai total (dalam %). Analisa vertikal dalam laporan rugi laba dilakukan dengan membandingkan setiap item dalam laporan dengan total penjualan. Misalnya, penjualan tahun 2007 1000, harga pokok penjualan 600 biaya operasi 300 dan laba bersih 100. Analisa vertikal yang dilakukan adalah membandingkan nilai harga pokok, biaya operasi dan laba bersih dengan nilai penjualan, masing-masing sebesar 60%, 30% dan 10%. Demikian juga halnya dengan neraca. Setiap elemen neraca seperti kas, piutang, aktiva tetap dan hutang serta modal dibandingkan dengan nilai aset total.
3. Analisa Rasio
Rasio merupakan alat yang penting dalam melakukan analisa laporan keuangan. Rasio (%) digunakan untuk mengkonversi angka-angka dalam laporan keuangan ke dalam bentuk yang lebih layak untuk diperbandingkan dengan data tahun-tahun lainnya untuk satu wajib pajak ataupun dibandingkan antar wajib pajak dalam bidang industri tertentu. Rasio bisa lebih menggambarkan posisi satu wajib pajak dibandingkand dengan wajib pajak lainnya dalam satu industri yang sama dibandingkan dengan angka-angka rupiah laporan keuangan.
Secara umum, analisa rasio akan berguna untuk:
- memahami kinerja satu industri;
- membandingkan kinerja perusahaan (wajib pajak) dengan benchmark-nya;
- melakukan komparasi dengan tahun-tahun lainya;
- membantu dalam menentuka tingkat risiko ketidakpatuhan di wajib pajak.

Rasio-rasio
Gross Profit Margin (GPM)
Rasio dari laporan rugi laba ini mengukur tingkat laba kotor wajib pajak dari setiap rupiah hasil penjualannya. Wajib pajak yang mengandalkan volume penjualan tinggi biasanya mempunyai GPM kecil. Wajib pajak yang bergerak dalam bidang mi instant mungkin termasuk dalam kelompok wajib pajak ini. Wajib pajak lebih memilih 'untung sedikit tetapi bisa jual banyak'. Ada juga kelompok wajib pajak yang bergerak di bidang usaha yang lebih mengandalkan GPM yang tinggi, bukan volume. Misalnya wajib pajak yang bergerak di bidang usaha alat berat, mungkin lebih menekankan pada tingginya GPM daripada tingginya volume penjualan mengingat karakteristik produk yang dijual. GPM dirumuskan sebagai berikut:
GPM = [(penjualan - harga pokok)/penjualan] X 100%

Net Profit Margin (NPM)
Rasio ini mengukur berapa tingkat laba bersih dari setiap rupiah hasil penjualan. Biaya opersional (biaya penjualan, administrasi dan biaya keuangan) dikurangkan dari laba kotor. NPM dinyatakan sebagai berikut:
NPM= [(penjualan - harga pokok - biaya operasional)/penjualan] X 100%

Berry Ratio (BR)
Berry ratio menggambarkan kemampuan perusahaan untuk meraih keuntungan. Rasio ini menunjukkan berapa porsi laba kotor yang tersedia untuk menutup biaya operasional. Rasio di bawah 100% menunjukkan bahwa perusahaan tidak mampu menutup biaya operasionalnya (rugi). Selain itu, Berry Ratio di bawah 100% juga dapat menunjukkan bahwa perusahaan dalam tahap membangun pasar bagi produk mereka.
Wajib pajak dengan Berry Ratio di bawah 100% perlu mendapat perhatian yang serius utamanya masalah kebijakan penetapan harga dan strategi pemasarannya.
BR = [(penjualan - harga pokok)/biaya operasional] X 100%

EBIT Margin (EBIT)
EBIT margin mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan laba tanpa melihat kebijakan pembiayaan yang dilakukan perusahaan. Membandingkan EBIT margin satu perusahaan dengan perusahaan lain memberikan informasi yang lebih baik tentang bagaimana kinerja perusahaan tersebut dibandingkan dengan perusahaan lain dalam industri karena tidak ada pengaruh kebijakan pembiayaan yang digunakan perusahaan yang mungkin berbeda-beda. Perhatian perlu diberikan pada wajib pajak yang rasio EBIT marginnya di bawah rata-rata industri (benchmark).
Selisih antara EBIT dengan laba bersih (net profit) menjelaskan tingkat biaya bunga yang dihadapi wajib pajak sekaligus menggambarkan jumlah hutang di neraca.
EBIT = [laba operasi sebelum pajak + biaya bunga]/penjualan X 100%

Return on Assets (ROA)
Rasio ini memberikan gambaran tentang bagaimana perusahaan dapat menggunakan aset yang dimiliki dalam menghasilkan laba usaha. Perusahaan yang efektif dalam penggunaan asetnya dalam operasi usaha akan mempunyai ROA tinggi. Sebagai bandingan apakah ROA satu perusahaan bagus adalah tingkat suku bunga simpanan di bank. Perusahaan dianggap efektif dalam pendayagunaan asetnya apabila mempunyai ROA di atas bunga simpanan. Besaran ROA akan berbeda-beda untuk setiap industri. Industri yang padat modal seperti pertambangan akan mempunyai ROA lebih kecil dibandingkan dengan industri perdagangan.
ROA = [(laba bersih + biaya bunga)/rata-rata nilai aset] X 100%
Rasio-rasio di atas kemudian dihitung untuk setiap wajib pajak yang ada dalam satu industri untuk kemudian dicari rata-rata dan kuartil. Nilai rata-rata setiap jenis rasio seharusnya berada di antara 25% - 75%. Wajib pajak dengan rata-rata di bawah 25% dianggap wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan tinggi. Beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa satu wajib pajak nilai rata-rata rasionya di bawah 25% adalah:
- manajemen wajib pajak yang tidak sehat;
- wajib pajak sedang dalam tahap pengembangan pasar/produk baru;
- wajib pajak tergolong pemain baru dalam industri;
- wajib pajak sedang dalam tahap penelitian dan pengembangan, perluasan usaha atau promosi.
Apabila keempat hal tersebut tidak ada di wajib pajak, maka ini menunjukkan bahwa wajib pajak kemungkinan berusaha mengecilkan beban pajaknya dan perlu mendapat perhatian serius untuk mencari tahu modus yang digunakan wajib pajak.
==0==
*) Disarikan dari "Compliance Measurement", Centre for Tax Policy and Administration OECD (2001).

Tidak ada komentar: