- Faktor Non-Ekonomi
Joulfaian dan Rider (1998) menyatakan faktor demografi juga berpengaruh pada ketidakpatuhan wajib pajak. Latar belakang keluarga, usia wajib pajak, jumlah tanggungan dalam keluarga keluarga (family size), dan tempat tinggal/lokasi di mana wajib pajak tinggal akan juga turut menentukan bagaimana perilaku ketidakpatuhan wajib pajak.
Faktor non ekonomi lain yang juga berpengaruh pada perilaku ketidakpatuhan wajib pajak adalah tingkat pengetahuan dan pemahaman wajib pajak terhadap ketentuan perpajakan yang berlaku Krause (2000). Ketidakpatuhan akan timbul apabila wajib pajak tidak mempunyai pengetahuan perpajakan yang memadai, sehingga wajib pajak secara tidak sengaja tidak melakukan kewajiban perpajakannya (tidak mendaftarkan untuk memperoleh NPWP, tidak menyampaikan SPT dsb) atau melakukan kewajiban perpajakan tetapi tidak sepenuhnya benar (membayar dan melaporkan pajak tidak tepat waktu). Di lain pihak, pengetahuan dan pemahaman yang baik juga berdampak pada munculnya ketidakpatuhan, misalnya penghindaran pajak melalui rekayasa transaksi keuangan untuk mengeksploitasi kelemahan aturan perpajakan.
Selain variabel di atas, faktor personal dan situasional wajib pajak dapat juga mempengaruhi tingkat kepatuhan wajib pajak. Faktor personal tersebut meliputi moral, orientasi nilai dan preferensi terhadap risiko. Individu yang mengutamakan orientasinya pada nilai-nilai universal seperti kejujuran dan keadilan tentunya akan cenderung lebih patuh dari pada individu yang kurang memperhatikan kejujuran dan keadilan. Demikian juga, individu yang berkarakter penghindar risiko akan cenderung lebih patuh dibandingkan dengan individu yang berkarater pengambil risiko. Sedangkan faktor situasional meliputi ada atau tidak adanya pengawasan dari administrasi pajak, persepsi adanya ketidaksamaan beban pajak, bagaimana perilaku kelompok referensi dalam pelaporan pajak, dan faktor tersedianya barang publik (Trivedi et al, 2001).
Individu yang mempunyai persepsi bahwa mereka diawasi akan berperilaku lebih patuh daripada mereka yang berpersepsi sebaliknya. Di sini, bagaimana usaha satu administrasi perpajakan menumbuhkan persepsi pada diri wajib pajak bahwa mereka diawasi menjadi isu penting. Kegagalan munumbuhkan persepsi bahwa wajib pajak diawasi akan menyebabkan timbulnya perilaku ketidakpatuhan. Dalam konteks DJP, aktivasi wajib pajak non-filer yang baru-baru ini dilaksanakan merupakan contoh baik tentang upaya untuk menumbuhkan persepsi bahwa wajib pajak diawasi. Persepsi adanya ketidaksamaan bebab pajak dan ketersediaan barang publik adalah masalah kepercayaan wajib pajak pada pemanfaatan pajak. Apabila wajib pajak merasa bahwa pajak yang dibayar tidak dapat dikelola dengan baik oleh pemerintah sehingga wajib pajak merasa tidak memperoleh manfaat yang nyata dari pajak yang dibayarnya, maka wajib pajak akan cenderung tidak patuh. Contoh kasus di Indonesia, masih rendahnya kualitas barang publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan dan berbagai bentuk layanan publik lainnya bisa jadi menjadi faktor penentu mengapa tingkat kepatuhan wajib pajak masih rendah. Faktor perilaku kelompok referensi berkaitan dengan masalah keteladanan. Kepatuhan atau ketidakpatuhan seorang wajib pajak sedikit banyak ditentukan juga oleh bagaimana perilaku individu yang dijadikan panutan seperti pejabat pemerintah, tokoh masyarakat atau bahkan bagaimana perilaku petugas pajak itu sendiri.
Tingkat kepatuhan wajib pajak juga ditentukan oleh jenis usaha wajib pajak. Joulfaian dan Rider (1998) misalnya, menyimpulkan bahwa wajib pajak orang pribadi dengan kegiatan usaha (self-employed) cenderung kurang patuh dibandingkan dengan wajib pajak orang pribadi yang penghasilannya berasal dari gaji. Hal ini disebabkan penghasilan berupa gaji menjadi subyek pemotongan pajak oleh pihak lain (withholding source) yaitu pemberi penghasilan sehingga kepatuhan wajib pajak tersebut akan lebih bisa terkontrol. Sedangkan Forest (2004), menyimpulkan bahwa wajib pajak yang bergerak dalam satu bidang usaha tertentu lebih patuh dari pada wajib pajak yang bergerak di bidang usaha lainnya. Hal ini dikarenakan ada jenis-jenis usaha tertentu, misalnya jenis usaha yang mengandalkan kepercayaan konsumen, yang sensitif pada dampak negatif yang akan diperoleh apabila ketidakpatuhan wajib pajak terdeteksi oleh administrasi pajak.
Selain variabel-variabel seperti dijelaskan sebelumnya, ada satu variabel lagi yang menurut penulis juga bisa menggambarkan bagaimana perilaku ketidakpatuhan wajib pajak yaitu elemen-elemen dalam SPT. Elemen SPT dapat dinyatakan dalam bentuk rasio-rasio, baik yang menyangkut angka-angka dalam SPT maupun angka-angka dalam laporan keuangan yang menjadi dasar pengisian SPT. Santoso (2006) menjelaskan berbagai rasio yang dapat digunakan untuk memprediksi perilaku ketidakpatuhan wajib pajak. Rasio-rasio tersebut antara lain:
- Profitabilitas. Profitabilitas adalah kemampuan wajib pajak dalam memperoleh keuntungan bersih dalam kegiatan usahanya. Wajib pajak adalah rasional yaitu berusaha memaksimalkan expected utility penghasilannya. Untuk itu wajib pajak akan menentukan berapa tingkat keuntungan yang ingin dilaporkan dan tingkat keuntungan yang tidak dilaporkan.
- Pajak per penjualan. Pajak per penjualan adalah perbandingan antara jumlah pajak penghasilan yang dibayar wajib pajak dengan jumlah penjualannya. Wajib pajak adalah rasional sehingga mereka akan cenderung untuk memaksimalkan expected utility dari penghasilannya. Wajib pajak telah mempunyai batasan (threshold) beban pajak yang akan mereka tanggung secara sukarela dibandingkan dengan penjualannya. Wajib pajak akan patuh sepanjang pajak yang harus dibayar masih dalam batas threshold-nya. Akan tetapi, begitu batas ini terlampaui, wajib pajak akan berusaha menghindar dari kewajiban pembayaran pajaknya.
- Status kompensasi. Status kompensasi di sini berkaitan dengan apakah dalam satu tahun pajak wajib pajak mempunyai kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya yang bisa diperhitungkan dengan penghasilan neto tahun berjalan untuk menentukan besarnya penghasilan kena pajak pada tahun berjalan. Adanya kompensasi kerugian memungkinkan wajib pajak tidak harus membayar pajak meskipun dalam tahun berjalan wajib pajak memperoleh keuntungan. Wajib pajak dengan yang mempunyai kompensasi kerugian dari tahun sebelumnya akan cenderung lebih patuh karena konsekuensi pembayaran pajak kemungkinan tidak ada. Sebaliknya dengan wajib pajak yang tidak mempunyai kompensasi kerugian. Setiap pelaporan yang benar tentang penghasilan dan biaya yang dilakukan akan berdampak pada adanya tambahan pajak yang harus dibayar.
Penutup
Layaknya sebuah entitas ekonomi, administrasi perpajakan pasti dihadapkan pada masalah keterbatasan sumber daya. Oleh karena itu, isu penggunaan sumber daya yang ada secara efektif dan efisien sudah sepantasnya mendapat perhatian yang serius oleh administrasi perpajakan. Salah satu alat yang dapat digunakan untuk mencapai kegiatan pemungutan pajak yang efektif dan efisien adalah manajemen risiko ketidakpatuhan wajib pajak. Berdasarkan analisis manajemen risiko tersebut, wajib pajak diperlakukan secara berbeda-beda sesuai dengan kelompok risiko ketidakpatuhannya.
Variabel ketidakpatuhan seperti dibahas di muka menunjukkan bahwa analisis risiko ketidakpatuhan wajib pajak sangat mungkin untuk dilakukan. Permasalahannya adalah bagaimana kita bisa melakukan pengayaan pengetahuan terhadap berbagai variabel ketidakpatuhan tersebut dan kemudian mengoperasionalisasikan ke dalam satu model yang bisa memprediksi risiko ketidakpatuhan wajib pajak!!!
3 komentar:
Waaah.. akhirnya diposting juga tulisannya di Blog.... horaaaayyy.....
Thanks, mas basuki,... sudah ngasih pencerahan... berguna loh mas (terutama untuk yang lagi nulis.... wkekkek...)
Minta ijin menggunakan ya mas...
Silahken...., tulisan sampeyan kalau udah jadi boleh juha tuh ditaruh di sini :)
maaf pak..
saya mau minta daftar pustaka dari tulisan yang judulnya mengenai Resiko ketidakpatuhan ya..
yang ditulis tgl 15 mei 2008.
untuk skripsi saya pak..
terima kasih..
Posting Komentar