13 Mei 2008

Risiko Kepatuhan Wajib Pajak bagian 1

Tulisan ini saya buat kira-kira setahun yang lalu. Intinya, tulisan ini membahas tentang bagaimana perilaku kepatuhan wajib pajak. Pembahasan dimulai dengan definisi ketidakpatuhan dan bagaimana pengukurannya. Pada bagian berikutnya dibahas tentang faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya perilaku ketidakpatuhan, dalam konteks perpajakan tentunya! Pada bagian terakhir, disinggung tentang bagaimana penerapan konsep ketidakpatuhan ini dalam kehidupan nyata, ya di mana lagi kalau bukan di kalangan otoritas pajak. Mudah-mudahan tulisan ini mendatangkan manfaat bagi Anda yang telah berkenan membaca, dan saya bersyukur kalau di antara Anda ada yang mau berdiskusi lebih lanjut. Untuk tidak menimbulkan kebosanan, tulisan ini saya post secara berseri, meskipun hanya dua. Selamat menikmati.

Risiko Kepatuhan: Apa dan Bagaimana?

Dalam pelaksanaan pemungutan pajak, administrasi pajak akan menghadapi risiko berupa pajak yang tidak dapat ditarik dari wajib pajak karena wajib pajak tersebut tidak tidak mematuhi ketentuan perpajakan sehingga ada pajak terutang yang tidak dibayar (OECD, 2004). Risiko inilah yang biasa disebut dengan risiko kepatuhan. Untuk efisiensi dan efektivitas operasional, administrasi perpajakan seharusnya dapat mengidentifikasi risiko ini sehingga dapat merumuskan strategi-strategi yang akan digunakan untuk menangkal munculnya risiko kepatuhan.

Pertanyaannya adalah bagaimana mengukur risiko kepatuhan? Sommerfeld et al (1994) menjelaskan besaran penerimaan pajak yang hilang karena adanya ketidakpatuhan sebagai tax gap. Tax gap dapat berasal dari adanya penghasilan yang tidak dilaporkan (underreported income) maupun adanya pengurang penghasilan yang lebih dilaporkan (overstated deduction). Dalam konteks Pajak Penghasilan di Indonesia, tax gap tidak serta merta dapat digunakan sebagai ukuran risiko ketidakpatuhan. Hal ini dikarenakan adanya mekanisme kompensasi kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya yang diatur dalam Undang-undang Pajak Penghasilan. Dengan mekanisme kompensasi kerugian, tidak setiap ketidakpatuhan baik berupa underreported income maupun overstated deduction yang terdeteksi dalam satu tahun pajak akan berdampak pada adanya tambahan pajak yang harus dibayar. Oleh karena itu, ketidakpatuhan sebaiknya diukur dengan jumlah koreksi penghasilan netto sebelum diperhitungkan dengan kompensasi kerugian dari tahun pajak sebelumnya yang dimiliki oleh wajib pajak.

Setelah risiko ketidakpatuhan dan ukurannya didefinisikan, selanjutnya, wajib pajak dikelompokkan berdasarkan tingkat risikonya. Pengelompokan ini diperlukan karena tujuan utama manajemen risiko dalam administrasi perpajakan adalah untuk mengurangi peluang timbulnya risiko ketidakpatuhan secara efektif dan efisien. Hal ini dapat dicapai salah satunya dengan menerapkan strategi yang berbeda untuk setiap kelompok ketidakpatuhan. OECD (2004) mengelompokkan wajib pajak ke dalam tiga kelompok berdasarkan tingkat ketidakpatuhannya; (1) rendah, (2) menengah dan (3) tinggi. Operasionalisasi kelompok ketidakpatuhan ini, misalnya dapat dilakukan dengan melihat persentase koreksi penghasilan netto. Sebagai contoh wajib pajak dengan koreksi penghasilan netto kurang dari 10% masuk kelompok wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan rendah. Wajib pajak dengan koreksi penghasilan netto di atas 30% masuk kelompok ketidakpatuhan tinggi dan wajib pajak dengan koreksi penghasilan netto di antara 10% sampai dengan 30% merupakan wajib pajak dengan risiko ketidakpatuhan menengah.

Faktor-faktor Ketidakpatuhan Wajib Pajak

  1. Faktor Ekonomi

Banyak penelitian yang membahas faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kepatuhan atau ketidakpatuhan wajib pajak. Pelopor studi tentang kepatuhan wajib pajak adalah Allingham dan Sandmo (1972). Allingham dan Sandmo menggunakan konsep expected utility untuk menjelaskan perilaku kepatuhan wajib pajak. Mereka menggunakan variabel-variabel yang dikenal sebagai faktor ekonomi, yaitu: penghasilan sebelum pajak, tarif pajak, besarnya peluang untuk diperiksa dan besarnya penalti.

Dalam analisis kepatuhan yang dikembangkan oleh Allingham dan Sandmo (1972), wajib pajak diasumsikan sebagai individu yang rasional dan memperoleh penghasilan yang jumlahnya tetap, sehingga wajib pajak tersebut akan memilih berapa jumlah penghasilan yang akan dilaporkan pada administrasi pajak.
Apabila seorang individu memperoleh penghasilan yang sebenarnya sebesar y, pendapatan yang dilaporkan x, penghasilan setelah pajak penghasilan v, tarif pajak t, tingkat kemungkinan terdeteksi p dan denda atas penghasilan yang tidak dilaporkan s, maka berdasarkan konsep expected utility, seorang wajib pajak akan melaporkan penghasilannya sedemikian rupa sehingga tingkat expected utility dari penghasilan yang diterimanya, EU [I], akan maksimal. Tingkat EU [I] seorang wajib pajak adalah fungsi dari utility penghasilan setelah pajak baik dalam kondisi penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi maupun tidak. Dengan demikian, expected utility wajib pajak dapat adalah:

EU [I]=(1 – p)U{v + t(y – x)} + pU{v - s(y – x)}

Besaran (1 – p)U{v + t(y – x)} merupakan utility penghasilan wajib pajak apabila penghasilan yang tidak dilaporkan tidak terdeteksi, terdiri dari utility penghasilan yang setelah pajak dan utility pajak yang tidak dibayar. Sedangkan besaran pU{v - s(y – x)} merupakan utility apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, yaitu utility penghasilan yang setelah pajak dikurangi dengan utility penalti yang harus dibayar karena ada penghasilan yang tidak dilaporkan.

Probabilitas wajib pajak akan diperiksa adalah tingkat peluang satu wajib pajak akan diperiksa oleh administrasi perpajakan atau audit rate. Semakin tinggi audit rate, semakin tinggi peluang wajib pajak akan diperiksa. Audit rate yang tinggi akan membuat wajib pajak cenderung untuk melaporkan sebagian besar dari penghasilannya ke administrasi pajak. Berdasarkan formula expected utility di atas, semakin besar probabilitas diperiksa p dan faktor lain tetap, utility penghasilan wajib pajak apabila penghasilan yang tidak dilaporkan tidak terdeteksi, (1 – p)U{v + t(y – x)}, akan turun, sebaliknya, utility apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, pU{v - s(y – x)}, akan semakin tinggi.

Tarif pajak merupakan persentase tertentu dari penghasilan yang dilaporkan yang harus dibayarkan kepada negara oleh wajib pajak. Pada tingkat penghasilan dan penghasilan yang dilaporkan tertentu, tarif pajak akan berpengaruh negatif pada utility wajib pajak. Semakin rendah tarif pajak akan meningkatkan utility wajib pajak dan akan memberikan insentif bagi wajib pajak untuk melaporkan penghasilaannya. Akan tetapi, beberapa penelitian membuktikan hal yang sebaliknya, misalnya (Ali, 2001).

Pada kondisi tingkat penghasilan rendah, tarif pajak rendah akan mendorong wajib pajak untuk melaporkan penghasilannya pada administrasi pajak. Meskipun demikian, apabila tarif pajak dan penghasilan tinggi, wajib pajak akan cenderung tidak melaporkan penghasilannya kepada administrasi pajak. Hal ini dapat dimaklumi, mengingat pada tingkat probabilitas diperiksa tertentu, utility wajib pajak (utility (1 – p)U{v + t(y – x)} dan utility pU{v - s(y – x)}) akan turun apabila wajib pajak melaporkan seluruh penghasilannya kepada administrasi pajak.

Faktor ekonomi berikutnya yang berpengaruh pada kepatuhan adalah penalti atau sanksi. Penalti akan dikenakan apabila penghasilan yang tidak dilaporkan oleh wajib pajak terdeteksi oleh administrasi perpajakan. Apabila penghasilan yang tidak dilaporkan terdeteksi, selain harus membayar pajak terutang dari penghasilan yang tidak dilaporkan, wajib pajak juga harus membayar penalti, sebagian dari dari penghasilan yang tidak dilaporkan. Tingkat penalti berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak karena menurut konsep expected utility, wajib pajak akan melakukan underreporting sepanjang expected value penalti tersebut masih lebih rendah dari pada expected value penghasilan yang tidak dilaporkan. Untuk membuat setiap wajib pajak bersedia melaporkan seluruh penghasilannya, penalti harus ditetapkan sedemikian rupa sehingga expected value dari penalti tersebut lebih besar dari expected value dari penghasilan yang tidak dilaporkan. Dengan demikian, tidak ada insentif bagi wajib pajak untuk tidak melaporkan penghasilannya.

Erard (1997) menyimpulkan bahwa skala usaha wajib pajak dapat berpengaruh pada kepatuhan wajib pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakan. Hal ini berkaitan dengan masalah efisiensi, yaitu besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh satu perusahaan untuk tetap patuh dibandingkan dengan jumlah pajak yang harus dibayar apabila wajib pajak tersebut tidak patuh dan terdeteksi oleh administrasi perpajakan. Sebagai contoh, wajib pajak perusahaan kecil mungkin tidak patuh karena tidak mempunyai pemahaman tentang teknis perpajakan yang memadai, tidak dapat mengikuti perkembangan aturan perpajakan, dan enggan menyewa konsultan perpajakan untuk menangani masalah perpajakan mereka karena pertimbangan efisiensi biaya.

Chattopadhayay dan Das-Gupta (2002) menjelaskan bahwa faktor permodalan juga berpengaruh pada perilaku ketidakpatuhan. Faktor permodalan ini menyangkut siapa pemegang saham perusahaan dan bagaimana struktur modal. Wajib pajak badan yang pemegang sahamnya adalah perusahaan multi-nasional, akan menjalankan transaksi usahanya secara lebih mutakhir dalam rangka penghindaran pajak dibanding dengan perusahaan yang pemegang sahamnya terdiri dari individu-individu lokal. Selain itu, faktor permodalan juga berkaitan dengan struktur modal, yaitu perbandingan antara hutang dengan ekuitas (debt to equity ratio, DER). Perlakuan perpajakan yang berbeda antara biaya modal yang berasal dari hutang (bunga) dan ekuitas (dividen) bisa mempengaruhi kepatuhan wajib pajak. Bunga atas hutang dapat dikurangkan sebagai biaya dalam penghitungan penghasilan kena pajak, sementara dividen tidak boleh dikurangkan karena merupakan bagian dari keuntungan setelah pajak.

Tidak ada komentar: