15 Agustus 2013

#17an Mengenal Sejarah Pemungutan Pajak Di Indonesia (Bag. 2 dari 3 tulisan)

Periode 1920-1983

Sejarah perpajakan pada periode ini ditandai dengan diundangkannya beberapa Ordonansi Pajak yang cukup monumental. Sekedar memberi contoh, misalnya seperti Ordonansi Pajak Penghasilan 1920 (Ordonansi 1920) dan Ordonansi Pajak Perusahaan 1925 (Ordonansi 1925). Ordonansi yang disebut terakhir ini bahkan tetap berlaku hingga jaman kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan berbagai perubahan.

Perubahan fundamental Ordonansi 1920 adalah mulai diterapkannya prinsip unifikasi, kepada setiap wajib pajak diberlakukan ketentuan yang sama tanpa memerhatikan kebangsaannya. Seperti diulas sebelumnya, ketentuan pajak sebelum 1920 membedakan perlakuan pajak atas warga pribumi, warga Asia dan warga Eropa. Beberapa hal penting lainnya yang mulai diterapkan dalam Ordonansi 1920 ini, antara lain:
Pajak penghasilan tidak hanya diberlakukan bagi orang pribadi, tetapi juga diterapkan pada perkumpulan orang-orang seperti firma. Badan usaha asing yang menjalankan usaha di wilayah India Belanda juga menjadi subyek pajak penghasilan di bawah rejim Ordonansi 1920 ini.

Kepada wajib pajak yang tinggal di India Belanda (resident) berlaku konsep world wide income, dipajaki atas seluruh penghasilan yang diperoleh dalam satu tahun pajak tanpa melihat dari mana sumber penghasilan tersebut. Sementara wajib pajak non-resident hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari India Belanda. Hanya saja, dalam menentukan apakah seseorang menjadi resident atau non-resident, Ordonansi 1920 belum secara tegas mengatur soal time test. Sehingga penentuan seorang wajib pajak sebagai resident atau non-resident sepenuhnya tergantung pada penilaian kantor pajak.

Dalam menentukan penghasilan kena pajak, Ordonansi 1920 tetap menggunakan konsep penghasilan bersih. Penghasilan sendiri didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan dalam bentuk kas atau setara kas, termasuk di dalamnya nilai barang yang diproduksi dan digunakan untuk kepentingan pribadi wajib pajak, yang diterima dari pekerjaan atau kegiatan usaha, dalam bidang keilmuan atau bidang lainnya, yang dilakukan secara teratur (periodik) maupun tidak teratur.

Tarif pajak yang berlaku dalam Ordonansi 1920 adalah tarif progresif, mulai dari 1% untuk penghasilan kena pajak minimum sebesar 120 Gulden sampai dengan 25% untuk penghasilan kena pajak di atas 180.000 Gulden. Sementara tarif pajak untuk badan usaha adalah tarif tetap sebesar 6%.

Penentuan penghasilan kena pajak dalam Ordonansi 1920 ini menggunakan sistim ‘estimasi’. Penentuan besarnya penghasilan kena pajak dalam satu tahun pajak dilakukan pada awal tahun, 1 Januari, berdasarkan perkiraan. Sehingga, ada kemungkinan penghasilan kena pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak berbeda dengan penghasilan yang sesungguhnya diperolah dalam tahun itu. Pada praktiknya, wajib pajak akan menggunakan penghasilan kena tahun lalu sebagai dasar perkiraan penghasilan kena pajak tahun berjalan.

Pajak atas sisa lebih laba (excess profit) dinaikkan menjadi 10%, dari sebelumnya 8%. Excess profit adalah pembagian keuntungan di  atas 8% dari modal disetor. Kriteria ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya,  5% dari modal disetor.

Setelah diterbitkannya Ordonansi 1920, pada tahun 1922 Pemerintah India Belanda membentuk Panitia Reformasi Pajak. Beberapa isu yang ingin diselesaikan oleh Panitia ini antara lain; (1) apakah perlu dibuat ketentuan pajak penghasilan khusus untuk badan usaha, (2) kalau perlu, atas dasar apa pajak penghasilan badan usaha tersebut akan dikenakan—atas laba perusahaan atau atas laba yang dibagikan kepada pemegang saham, dan (3) bagaimana tarif pajak, progresif atau proporsional. 

Dari Panitia inilah kemudian lahir Ordonansi 1925. Pajak penghasilan badan usaha dikenakan atas laba usaha dengan tarif proporsional sebesar 10%. Ordonansi 1925 ini berlaku sampai dengan tahun 1983 dengan berbagai perubahan dalam perjalanannya. Terakhir, tarif pajak yang berlaku menurut Ordonansi 1925 ini adalah tarif progresif antara 20% sampai dengan 45%.

Sejalan dengan terbitnya Ordonansi 1925, pemikiran-pemikiran untuk melakukan perubahan ketentuan pajak penghasilan orang pribadi dalam Ordonansi 1920 mulai muncul. Salah satu alasan adalah perlunya menyelaraskan aturan pajak di India Belanda dengan aturan pajak di Negeri Belanda sehingga warga Belanda yang berdomisili di India Belanda tidak terkena pajak dua kali.  Dalam Ordonansi 1920 hal ini sulit dilakukan karena adanya beberapa perbedaan terminologi dan aturan antara Ordonansi 1920 dengan aturan serupa di Belanda. 

Oleh karenanya, pada tahun 1932 diterbitkan Ordonansi Pajak Penghasilan Orang Pribadi 1932 (Ordonansi 1932). Sama seperti Ordonansi 1920, Ordonansi 1932 ini juga menganut prinsip world wide income untuk wajib pajak resident, sementara non resident hanya atas penghasilan yang diterima dari India Belanda. Di lain pihak, berbeda dengan Ordonansi 1920, Ordonansi 1932 sudah mengenal time test dalam menentukan apakah seseorang resident atau non resident. Seseorang yang berada di luar negeri kurang dari setahun tetap dianggap sebagai resident.

Perubahan signifikan Ordonansi 1932 dibandingkan dengan Ordonansi 1920 lainnya adalah Ordonansi 1932 menganut konsep sumber penghasilan. Penghasilan yang dikenakan pajak di bawah rejim Ordonansi 1932 adalah penghasilan yang bersumber pada sumber-sumber penghasilan yang secara periodik dan teratur memberikan penghasilan. Sumber-sumber penghasilan dalam Ordonansi 1932 tersebut adalah: (1) kegiatan usaha dan kegiatan usaha bebas (personal services), (2) harta tak bergerak, (3) harta bergerak, dan (4) hak atas penghasilan yang sifatnya periodik.

Perkembangan selanjutnya dari sejarah perpajakan Indonesia periode 1920-1983 terjadi pada tahun 1935, dengan diterbitkannya Ordonansi Pajak Upah 1935 (Ordonansi 1935). Berlakunya Ordonansi 1935 ini menandai mulai diperkenalkannya konsep PAYE--pay as you earn—di India Belanda, Pajak atas penghasilan dibayar saat penghasilan diperoleh. Pajak atas penghasilan berupa upah akan dipungut oleh pemberi kerja. Ada dua cara pelunasan pajak Ordonansi 1935 ini, yaitu dengan membeli kupon (stamp) untuk jumlah upah kecil dan dibayar langsung ke kas negara untuk jumlah upah yang lebih besar. Ordonansi 1935 ini berlaku hingga tahun 1960.

Pasca kemerdekaan Republik Indonesia tahun 1945, Ordonansi 1925, Ordonansi 1932 dan Ordonansi 1935 tetap diberlakukan sebagai dasar pemungutan pajak. Perubahan terjadi di tahun 1949 dimana Ordonansi 1932 diganti dengan Ordonansi 1944, biasa disebut Pajak Peralihan 1944, (transition tax 1944, pada tahun 1957 diubah menjadi Pajak Penghasilan 1944). Ordonansi 1944 tetap menggunakan prinsip sumber sebagaimana digunakan dalam Ordonansi 1932. Hanya saja, sumber penghasilan dalam Pajak Peralihan 1944 ini hanya menyebut modal dan tenaga kerja. Meski demikian, sumber penghasilan tersebut sebenarnya mencakup juga hak atas penghasilan yang diterima secara periodik, termasuk di dalamnya penghasilan dari kegiatan usaha dan penghasilan dari harta bergerak dan tidak bergerak. 

Berbeda dengan Ordonansi 1932 yang memakai ‘estimasi’ penghasilan kena pajak sebagai dasar pemajakan, Ordonansi 1944 menggunakan penghasilan aktual sebagai dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, penghitungan pajak penghasilan terutang baru dapat dilakukan di akhir tahun pajak. Namun demikian, pihak kantor pajak akan membuat perhitungan pajak terutang sementara berdasarkan penghasilan tahun lalu sebagai dasar pembayaran pajak di tahun berjalan.

Pada tahun 1951, Pajak Tanah, yang telah ada sejak awal abad tahun 1800an digabung dengan Pajak peralihan 1944. Kemudian, tahun 1961, Ordonansi 1935 juga digabung dengan Pajak Peralihan 1944. Dengan demikian, sejak tahun 1961 ada dua undang-undang tentang pajak penghasilan: Ordonansi 1925 untuk badan usaha dan Ordonansi 1944 untuk orang pribadi. 

Perubahan-perubahan dalam ketentuan perpajakan di masa setelah kemerdekaan selanjutnya terjadi di tahun 1967. Perubahan ini terkait dengan mekanisme pelunasan pajak terutang. Sebelum 1968, berdasarkan Ordonansi 1925 dan Ordonansi 1944 pelunasan pajak dalam tahun berjalan dihitung berdasarkan perhitungan sementara menggunaka penghasilan tahun berjalan. Pada tahun 1967, berlaku mulai 1968, pelunasan pajak dalam tahun berjalan dilakukan melalui dua mekanisme; MPS (Menghitung dan Membayar Pajak Sendiri, seperti setoran PPh Pasal 25 saat ini) dan MPO (memungut Pajak Orang Lain, mekanisme pelunasan melalui pemotongan/pemungutan).  MPS dan MPO ini merupakan pembayaran di muka dari pajak terutang dan akan menjadi kredit pajak di akhir tahun. Di sini akan terjadi kemungkinan wajib pajak mengalami lebih bayar, karena pajak yang dibayar di muka lebih besar dari pajak terutang di akhir tahun. Bagaimana menghitung MPS? MPS didasarkan pada peredaran bruto pada periode tertantu yang ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tarif umum MPS adalah 1% dari peredaran bruto bulanan. Ada tarif khusus MPS untuk jenis-jenis usaha tertentu. 

Satu lagi perkembangan aturan pajak di era kemerdekaan adalah diundangkannya Pajak Dividen pada tahun 1959. Pada tahun 1970, Pajak Dividen 1959 ini diperluas menjadi Pajak atas Dividen, Bunga dan Royalti (PDBR). Ketentuan-ketentuan tersebut digunakan sebagaid asar pemungutan pajak sampai dengan 1983. Mulai tahun 1984, sejarah perpajakan di Indonesia mengalami perubahan signifikan dengan terbitnya tiga Undang-undang perpajakan: UU KUP, UU PPh, dan UU PPN/PPnBM 1984.

Tidak ada komentar: