Periode 1920-1983
Sejarah perpajakan pada periode
ini ditandai dengan diundangkannya beberapa Ordonansi Pajak yang cukup
monumental. Sekedar memberi contoh, misalnya seperti Ordonansi Pajak
Penghasilan 1920 (Ordonansi 1920) dan Ordonansi Pajak Perusahaan 1925
(Ordonansi 1925). Ordonansi yang disebut terakhir ini bahkan tetap berlaku
hingga jaman kemerdekaan Republik Indonesia. Dengan berbagai perubahan.
Perubahan fundamental Ordonansi
1920 adalah mulai diterapkannya prinsip
unifikasi, kepada setiap wajib pajak diberlakukan ketentuan yang sama tanpa
memerhatikan kebangsaannya. Seperti diulas sebelumnya, ketentuan pajak sebelum
1920 membedakan perlakuan pajak atas warga pribumi, warga Asia dan warga Eropa.
Beberapa hal penting lainnya yang mulai diterapkan dalam Ordonansi 1920 ini,
antara lain:
Pajak penghasilan tidak hanya
diberlakukan bagi orang pribadi, tetapi juga diterapkan pada perkumpulan
orang-orang seperti firma. Badan usaha asing yang menjalankan usaha di wilayah
India Belanda juga menjadi subyek pajak penghasilan di bawah rejim Ordonansi
1920 ini.
Kepada wajib pajak yang tinggal
di India Belanda (resident) berlaku
konsep world wide income, dipajaki
atas seluruh penghasilan yang
diperoleh dalam satu tahun pajak tanpa melihat dari mana sumber penghasilan
tersebut. Sementara wajib pajak non-resident
hanya dikenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari India Belanda. Hanya
saja, dalam menentukan apakah seseorang menjadi resident atau non-resident,
Ordonansi 1920 belum secara tegas mengatur soal time test. Sehingga penentuan seorang wajib pajak sebagai resident atau non-resident sepenuhnya tergantung pada penilaian kantor pajak.
Dalam menentukan penghasilan kena
pajak, Ordonansi 1920 tetap menggunakan konsep penghasilan bersih. Penghasilan
sendiri didefinisikan sebagai jumlah keseluruhan dalam bentuk kas atau setara
kas, termasuk di dalamnya nilai barang yang diproduksi dan digunakan untuk
kepentingan pribadi wajib pajak, yang diterima dari pekerjaan atau kegiatan
usaha, dalam bidang keilmuan atau bidang lainnya, yang dilakukan secara teratur
(periodik) maupun tidak teratur.
Tarif pajak yang berlaku dalam Ordonansi
1920 adalah tarif progresif, mulai dari 1% untuk penghasilan kena pajak minimum
sebesar 120 Gulden sampai dengan 25% untuk penghasilan kena pajak di atas
180.000 Gulden. Sementara tarif pajak untuk badan usaha adalah tarif tetap
sebesar 6%.
Penentuan penghasilan kena pajak
dalam Ordonansi 1920 ini menggunakan sistim ‘estimasi’. Penentuan besarnya
penghasilan kena pajak dalam satu tahun pajak dilakukan pada awal tahun, 1
Januari, berdasarkan perkiraan. Sehingga, ada kemungkinan penghasilan kena
pajak yang menjadi dasar pengenaan pajak berbeda dengan penghasilan yang
sesungguhnya diperolah dalam tahun itu. Pada praktiknya, wajib pajak akan
menggunakan penghasilan kena tahun lalu sebagai dasar perkiraan penghasilan
kena pajak tahun berjalan.
Pajak atas sisa lebih laba (excess profit) dinaikkan menjadi 10%,
dari sebelumnya 8%. Excess profit
adalah pembagian keuntungan di atas 8%
dari modal disetor. Kriteria ini berbeda dengan ketentuan sebelumnya, 5% dari modal disetor.
Setelah diterbitkannya Ordonansi
1920, pada tahun 1922 Pemerintah India Belanda membentuk Panitia Reformasi
Pajak. Beberapa isu yang ingin diselesaikan oleh Panitia ini antara lain; (1)
apakah perlu dibuat ketentuan pajak penghasilan khusus untuk badan usaha, (2)
kalau perlu, atas dasar apa pajak penghasilan badan usaha tersebut akan
dikenakan—atas laba perusahaan atau atas laba yang dibagikan kepada pemegang
saham, dan (3) bagaimana tarif pajak, progresif atau proporsional.
Dari Panitia inilah kemudian
lahir Ordonansi 1925. Pajak penghasilan badan usaha dikenakan atas laba usaha
dengan tarif proporsional sebesar 10%. Ordonansi 1925 ini berlaku sampai dengan
tahun 1983 dengan berbagai perubahan dalam perjalanannya. Terakhir, tarif pajak
yang berlaku menurut Ordonansi 1925 ini adalah tarif progresif antara 20%
sampai dengan 45%.
Sejalan dengan terbitnya Ordonansi
1925, pemikiran-pemikiran untuk melakukan perubahan ketentuan pajak penghasilan
orang pribadi dalam Ordonansi 1920 mulai muncul. Salah satu alasan adalah
perlunya menyelaraskan aturan pajak di India Belanda dengan aturan pajak di
Negeri Belanda sehingga warga Belanda yang berdomisili di India Belanda tidak
terkena pajak dua kali. Dalam Ordonansi
1920 hal ini sulit dilakukan karena adanya beberapa perbedaan terminologi dan
aturan antara Ordonansi 1920 dengan aturan serupa di Belanda.
Oleh karenanya, pada tahun 1932
diterbitkan Ordonansi Pajak Penghasilan Orang Pribadi 1932 (Ordonansi 1932).
Sama seperti Ordonansi 1920, Ordonansi 1932 ini juga menganut prinsip world wide income untuk wajib pajak resident, sementara non resident hanya atas penghasilan yang diterima dari India
Belanda. Di lain pihak, berbeda dengan Ordonansi 1920, Ordonansi 1932 sudah
mengenal time test dalam menentukan
apakah seseorang resident atau non resident. Seseorang yang berada di
luar negeri kurang dari setahun tetap dianggap sebagai resident.
Perubahan signifikan Ordonansi
1932 dibandingkan dengan Ordonansi 1920 lainnya adalah Ordonansi 1932 menganut
konsep sumber penghasilan. Penghasilan yang dikenakan pajak di bawah rejim
Ordonansi 1932 adalah penghasilan yang bersumber pada sumber-sumber penghasilan
yang secara periodik dan teratur memberikan penghasilan. Sumber-sumber
penghasilan dalam Ordonansi 1932 tersebut adalah: (1) kegiatan usaha dan
kegiatan usaha bebas (personal services),
(2) harta tak bergerak, (3) harta bergerak, dan (4) hak atas penghasilan yang
sifatnya periodik.
Perkembangan selanjutnya dari
sejarah perpajakan Indonesia periode 1920-1983 terjadi pada tahun 1935, dengan
diterbitkannya Ordonansi Pajak Upah 1935 (Ordonansi 1935). Berlakunya Ordonansi
1935 ini menandai mulai diperkenalkannya konsep PAYE--pay as you earn—di India Belanda, Pajak atas penghasilan
dibayar saat penghasilan diperoleh. Pajak atas penghasilan berupa upah akan dipungut
oleh pemberi kerja. Ada dua cara pelunasan pajak Ordonansi 1935 ini, yaitu
dengan membeli kupon (stamp) untuk
jumlah upah kecil dan dibayar langsung ke kas negara untuk jumlah upah yang
lebih besar. Ordonansi 1935 ini berlaku hingga tahun 1960.
Pasca kemerdekaan Republik
Indonesia tahun 1945, Ordonansi 1925, Ordonansi 1932 dan Ordonansi 1935 tetap
diberlakukan sebagai dasar pemungutan pajak. Perubahan terjadi di tahun 1949
dimana Ordonansi 1932 diganti dengan Ordonansi 1944, biasa disebut Pajak Peralihan
1944, (transition tax 1944, pada
tahun 1957 diubah menjadi Pajak Penghasilan 1944). Ordonansi 1944 tetap
menggunakan prinsip sumber sebagaimana digunakan dalam Ordonansi 1932. Hanya
saja, sumber penghasilan dalam Pajak Peralihan 1944 ini hanya menyebut modal
dan tenaga kerja. Meski demikian, sumber penghasilan tersebut sebenarnya
mencakup juga hak atas penghasilan yang diterima secara periodik, termasuk di
dalamnya penghasilan dari kegiatan usaha dan penghasilan dari harta bergerak
dan tidak bergerak.
Berbeda dengan Ordonansi 1932
yang memakai ‘estimasi’ penghasilan kena pajak sebagai dasar pemajakan, Ordonansi
1944 menggunakan penghasilan aktual sebagai dasar pengenaan pajak. Dengan
demikian, penghitungan pajak penghasilan terutang baru dapat dilakukan di akhir
tahun pajak. Namun demikian, pihak kantor pajak akan membuat perhitungan pajak
terutang sementara berdasarkan penghasilan tahun lalu sebagai dasar pembayaran
pajak di tahun berjalan.
Pada tahun 1951, Pajak Tanah,
yang telah ada sejak awal abad tahun 1800an digabung dengan Pajak peralihan
1944. Kemudian, tahun 1961, Ordonansi 1935 juga digabung dengan Pajak Peralihan
1944. Dengan demikian, sejak tahun 1961 ada dua undang-undang tentang pajak
penghasilan: Ordonansi 1925 untuk badan usaha dan Ordonansi 1944 untuk orang
pribadi.
Perubahan-perubahan dalam
ketentuan perpajakan di masa setelah kemerdekaan selanjutnya terjadi di tahun
1967. Perubahan ini terkait dengan mekanisme pelunasan pajak terutang. Sebelum
1968, berdasarkan Ordonansi 1925 dan Ordonansi 1944 pelunasan pajak dalam tahun
berjalan dihitung berdasarkan perhitungan sementara menggunaka penghasilan
tahun berjalan. Pada tahun 1967, berlaku mulai 1968, pelunasan pajak dalam
tahun berjalan dilakukan melalui dua mekanisme; MPS (Menghitung dan Membayar
Pajak Sendiri, seperti setoran PPh Pasal 25 saat ini) dan MPO (memungut Pajak
Orang Lain, mekanisme pelunasan melalui pemotongan/pemungutan). MPS dan MPO ini merupakan pembayaran di muka
dari pajak terutang dan akan menjadi kredit pajak di akhir tahun. Di sini akan
terjadi kemungkinan wajib pajak mengalami lebih bayar, karena pajak yang
dibayar di muka lebih besar dari pajak terutang di akhir tahun. Bagaimana
menghitung MPS? MPS didasarkan pada peredaran bruto pada periode tertantu yang
ditentukan oleh Direktorat Jenderal Pajak dan tarif umum MPS adalah 1% dari
peredaran bruto bulanan. Ada tarif khusus MPS untuk jenis-jenis usaha tertentu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar