20 Juni 2013

Mengapa Kita (Tidak) Patuh Pajak?



Tiga puluh tahun sudah reformasi perpajakan dijalankan. Akan tetapi, tingkat kepatuhan pajak di Indonesia belum beranjak jauh. Data kepatuhan daftar, bayar dan lapor menunjukkan tingkat kepatuhan pajak belum optimal. Berdasarkan bahan paparan yang dibuat oleh Direktorat P2Humas dapat dilihat bahwa kurang dari 40% orang pribadi dan badan potensial yang telah terdaftar menjadi wajib pajak (mempunyai Nomor Pokok Wajib Pajak, NPWP). Dari yang telah terdfatar menjadi wajib pajak, baru 44% wajib pajak orang pribadi menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh dan 27% untuk wajib pajak badan.

Pertanyaannya, setelah sekian lama sistem self assessment berjalan, mengapa tingkat kepatuhan belum juga mencapai tingkat optimal? Apa yang mendorong seseorang untuk patuh dan tidak patuh?

Berbekal pertanyaan-pertanyaan tersebut, baru-baru ini Kanwil DJP Jawa Tengah II, bekerja sama dengan satu lembaga penelitian di Solo, mencoba membuat penelitian untuk mengetahui bagaimana pola perilaku kepatuhan wajib pajak orang pribadi dan hal-hal apa yang mendorong mereka untuk patuh atau tidak patuh. Penelitian yang mengambil sampel wajib pajak orang pribadi dengan kegiatan usaha bebas di wilayah Solo Raya (eks Karesidenan Surakarta) sebagai responden ini dilakukan bersamaan dengan survei tentang efektivitas sosialisasi pajak.

Penelitian dilakukan dengan mendatangi dan mewawancarai responden. Kuesioner yang digunakan dalam wawancara dengan responden disusun berdasarkan hasil beberapa kali diskusi antara Kanwil DJP Jawa Tengah II (Bidang P2Humas) dan peneliti serta diperkaya dengan hasil Focused Group Discussion yang dilakukan oleh peneliti dengan sejumlah anggota masyarakat. 

Profil Responden
Sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 254 responden yang diambil secara acak dan proporsional mewakili tiga kelompok perilaku yang telah ditentukan sebelumnya: (1) perilaku calon wajib pajak; (2) perilaku wajib pajak patuh; dan (3) perilaku wajib pajak tidak patuh. Calon wajib pajak adalah mereka yang belum ber-NPWP sedangkan wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang patuh secara formal; wajib pajak yang telah daftar, bayar dan lapor. Wajib pajak tidak patuh adalah wajib pajak yang telah terdaftar tapi tidak bayar ataupun lapor. Dari 254 responden, terdapat 107 responden yang ber-NPWP, 83 responden belum ber-NPWP dan sisanya tidak menjawab.  

Dari 107 responden yang telah ber-NPWP, 94 di antaranya pernah menyampaikan SPT, 9 responden belum pernah menyampaikan SPT dan 4 responden tidak menjawab. Dari 94 responden yang pernah menyampaikan SPT, 88 responden mengaku selalu menyampaikan SPT setiap tahun dan 6 responden mengaku tidak setiap tahun menyampaikan SPT. Kemudian, dari 88 responden yang setiap tahun rutin menyampaikan SPT, 87 di antaranya mengaku ada setoran pajak dan hanya 1 responden yang mengaku tidak ada setoran pajak. Terakhir, di antara 87 responden yang mengaku ada setoran pajak, 56 responden melakukan setoran masa dan tahunan, 28 responden hanya melakukan setoran tahunan dan 3 responden tidak menjawab.  

Hasil Penelitian
Ketika kepada responden ditanyakan hal-hal umum tentang pajak (awareness), sebagian besar (75%) responden  mengaku mengenal dan tahu pajak. Akan tetapi, ketika ditanyakan lebih lanjut soal kepatuhan mereka dalam pelaksaaan kewajiban pajaknya, jumlah responden yang mengaku telah melaksanakan pengisian dan penyampaian SPT tidak sebesar responden yang mengaku kenal dan tahu pajak. Bahkan, ketika ditanyakan tentang pelaporan penghasilan lain di luar penghasilan rutin di SPT, lebih sedikit lagi responden yang menyatakan setuju. Dari sini dapat disimpulkan, meski masyarakat pada umumnya tahu tentang pajak tetapi belum banyak yang tahu soal hak dan kewajiban sebagai wajib pajak, termasuk kewajiban melaporkan penghasilan dalam SPT. Dengan kata lain, pengetahuan dan pemahaman tentang pajak tidak serta merta berdampak pada perilaku patuh pajak.

Beberapa hal yang mendorong seseorang untuk patuh pajak antara lain; (1) pemahaman akan tentang manfaat pajak yang dibayarkannya, (2) anggapan bahwa membayar pajak merupakan bentuk partisipasi dalam membangun negara, (3) harapan bahwa dengan membayar pajak akan berimbas pada kemajuan usaha, (4) alasan kemudahan dan pelayanan ketika berurusan dengan kantor pajak, dan (5) alasan yang terkait dengan prinsip agama yang dianut responden.

Terhadap responden yang belum ber-NPWP, penelitian ini mengidentifikasi sebanyak lima belas faktor yang membuat seseorang tidak patuh pajak (tidak mendaftar atau terdaftar tetapi tidak bayar atau lapor). Kelima belas faktor tersebut, dengan menggunakan analisis faktor, kemudian dikelompokkan menjadi lima aspek, yaitu (1) kekhawatiran terhadap konsekuensi dari ketidakpatuhan, (2) adanya kendala teknis dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, (3) kurangnya informasi, (4) alasan keagamaan dan nilai-nilai individu, dan (5) rasa ketidakadilan dan harapan.    

Kekhawatiran terhadap konsekuensi antara lain dinyatakan dalam anggapan bahwa responden akan merasa terbebani dengan pajak yang harus di tanggung setelah nanti ber-NPWP. Selain itu, ada kekhawatiran responden terhadap pemanfaatan pajak yang dibayar. Ketakutan bahwa pajak yang dibayar nantinya akan dikorupsi menjadi penyebab responden enggan patuh pajak. Responden juga enggan mendaftar karena khawatir dengan kemungkinan dikenakannya sanksi sehingga mereka berpendapat lebih tidak mendaftar daripada setelah mendaftar kemudian dikenai sanksi. Terakhir, termasuk dalam faktor kekhawatiran adalah responden tidak wajib memenuhi kewajiban pajaknya karena orang lain (peer group) juga melakukan hal yang sama dan beberapa responden menyatakan bahwa mereka memang tidak mau patuh pajak serta merasa tidak ada manfaat yang dirasakan.

Kendala teknis yang dirasakan oleh responden adalah prosedur pelaksanaan kewajiban perpajakan dirasa rumit. Faktor lain dari aspek kendala teknis adalah responden merasa akses terhadap pelayanan perpajakan yang tidak memadai seperti lokasi pelayanan jauh dari domisili wajib pajak. 

Aspek ketiga, kurang informasi, dinyatakan dalam anggapan responden bahwa mereka tidak tahu kalau harus mendaftar dan ber-NPWP dan kalaupun mereka tahu harus ber-NPWP mereka tidak paham bagaimana cara mendaftar NPWP.

Aspek alasan keagamaan dan nilai-nilai individu responden meliputi alasan prinsip yang terkait dengan agama yang mereka yakini. Berdasarkan pemahaman responden terhadap ajaran agamanya, mereka merasa tidak wajib melaksanakan kewajiban perpajakan. Sementara, beberapa responden akan melaksanakan kewajiban perpajakannya apabila dipaksa oleh penguasa.

Aspek terakhir dari mengapa seseorang tidak patuh pajak adalah rasa ketidakadilan dan harapan. Aspek ini meliputi anggapan responden bahwa mereka akan merasa terdzolimi kalau pajak yang dibayar ternyata tidak dikelola secara benar. Selain itu, termasuk dalam aspek ini adalah responden akan melaksanakan kewajiban perpajakan kalau usaha yang dijalaninya sudah meraih keuntungan.

Secara statistik, dari kelima belas faktor seperti disinggung di atas, ada beberapa faktor yang signifikan berpengaruh pada perilaku ketidakpatuhan responden. Faktor-faktor tersebut terkait dengan masalah kepercayaan dan pengetahuan perpajakan. Faktor yang terkait dengan masalah kepercayaan seperti responden merasa tidak memperoleh manfaat dari pajak yang dibayarnya, kekhawatiran bahwa pajak yang dibayar tidak dikelola dengan baik (dikorupsi). Sementara faktor yang terkait dengan masalah pengetahuan perpajakan misalnya bahwa responden tidak tahu kalau dia harus ber-NPWP. Atau, kalaupun tahu harus ber-NPWP, dia tidak tahu bagaimana prosedur mendaftar NPWP. Faktor kekhawatiran bahwa akan ada sanksi yang harus diterima setelah ber-NPWP juga menunjukkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman responden akan ketentuan perpajakan.

Implikasi Kebijakan
Pertanyaan selanjutnya, setelah adanya pemahaman terhadap faktor-faktor yang mendorong perilaku tidak patuh pajak, apa yang dapat dilakukan DJP untuk mengurangi ketidakpatuhan?

Dari kelima aspek seperti diuraikan di atas dapat dirangkum menjadi tiga hal yang perlu menjadi perhatian DJP. Pertama, aspek pengetahuan dan pemahaman. Ketidakpatuhan timbul karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman masyarakat akan ketentuan perpajakan, utamanya masalah hak dan kewajiban. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman menyebabkan pajak lebih dianggap semata-mata sebagai kewajiban. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman juga berakibat pada munculnya ketakutan atau kekhawatiran yang mendemotivasi masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan.
   
Kedua,  aspek pelayanan. Ketidakpatuhan masyarakat dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan akibat dari sulitnya akses pelayanan. Jauhnya tempat pembayaran dan lokasi pelayanan membuat orang menjadi enggan untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. 

Ketiga, persepsi terhadap keadilan, yaitu keadilan dalam konteks pengelolaan uang pajak yang diibayar oleh masyarakat; apakah uang pajak yang telah dibayarkan dikelola dengan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Persepsi keadilan juga terkait dengan apakah kewajiban perpajakan sudah dilaksanakan oleh setiap orang yang seharusnya melaksanakannya.

DJP sebagai lembaga administrasi pajak mempunyai kendali penuh terhadap penanganan masalah dalam dua aspek pertama; kurangnya pengetahuan dan akses terhadap pelayanan. Ke depan, penyuluhan dan sosialisasi perpajakan sebaiknya lebih difokuskan pada peningkatan pemahaman pada hal-hal mendasar dan filosofis dari administrasi perpajakan: hak, kewajiban dan manfaat. Kampanye tentang hak, kewajiban dan manfaat serta proses administrasi pajak; daftar-bayar-lapor harus dilakukan secara lebih intensif. Pembentukan agen-agen kepatuhan perlu dilakukan untuk memperluas jangkauan penyuluhan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan melakukan penyuluhan secara rutin kepada kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap berpengrauh pada masyarakat di sekitarnya. Terkait dengan pelayanan, DJP harus secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk mendekatkan pelayanan perpajakan kepada masyarakat; seperti mobil pajak keliling, pojok pajak, call center, SMS center dan sebagainya serta pemberdayaan KP2KP. Inovasi pelayanan perlu dirangsang agar terus tumbuh dan berkembang di benak para pegawai, antara lain melalui penghargaan kepada pegawai yang melakukan inovasi dan terbukti efektif dalam peningkatan pelayanan. 

Persepsi keadilan yang terkait dengan pemanfaatan uang pajak tentu saja di luar kendali DJP, karena ini terkait dengan politik anggaran. Akan tetapi, persepsi keadilan yang terkait dengan prosedur pelayanan dan penegakan hukum ada dalam kendali DJP. Standard Operating Prodecures (SOP) yang dibangun harus dipahami sebagai instrumen untuk menciptakan keadilan prosedural, bahwa setiap anggota masyarakat akan diperlakukan secara sama ketika berurusan dengan kantor pajak terkait dengan hak dan kewajiban perpajakannya, di manapun kantor pajak berada. Selain itu, penegakan hukum yang imparsial dan memenuhi rasa keadilan harus terus dilakukan sehingga terbangun persepsi di masyarakat, kalau tidak patuh akan ada konsekuensi yang ditanggung, siapapun pelakunya. Sebagaimana diperintahkan oleh Tuhan, “...dan janganlah rasa bencimu pada satu kaum mencegahmu dari berbuat tidak adil.” Karena, adil itu lebih dekat pada ridha Tuhan.

Tidak ada komentar: