Tiga puluh tahun sudah
reformasi perpajakan dijalankan. Akan tetapi, tingkat kepatuhan pajak di
Indonesia belum beranjak jauh. Data kepatuhan daftar, bayar dan lapor
menunjukkan tingkat kepatuhan pajak belum optimal. Berdasarkan bahan paparan
yang dibuat oleh Direktorat P2Humas dapat dilihat bahwa kurang dari 40% orang
pribadi dan badan potensial yang telah terdaftar menjadi wajib pajak (mempunyai
Nomor Pokok Wajib Pajak, NPWP). Dari yang telah terdfatar menjadi wajib pajak,
baru 44% wajib pajak orang pribadi menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
PPh dan 27% untuk wajib pajak badan.
Pertanyaannya, setelah
sekian lama sistem self assessment
berjalan, mengapa tingkat kepatuhan belum juga mencapai tingkat optimal? Apa
yang mendorong seseorang untuk patuh dan tidak patuh?
Berbekal
pertanyaan-pertanyaan tersebut, baru-baru ini Kanwil DJP Jawa Tengah II, bekerja sama dengan
satu lembaga penelitian di Solo, mencoba
membuat penelitian untuk mengetahui bagaimana pola perilaku kepatuhan wajib
pajak orang pribadi dan hal-hal apa yang mendorong mereka untuk patuh atau
tidak patuh. Penelitian yang mengambil sampel wajib pajak orang pribadi dengan
kegiatan usaha bebas di wilayah Solo Raya (eks Karesidenan Surakarta) sebagai
responden ini dilakukan bersamaan dengan survei tentang efektivitas sosialisasi
pajak.
Penelitian dilakukan dengan
mendatangi dan mewawancarai responden. Kuesioner yang digunakan dalam wawancara
dengan responden disusun berdasarkan hasil beberapa kali diskusi antara Kanwil DJP
Jawa Tengah II (Bidang P2Humas) dan peneliti serta diperkaya dengan hasil Focused Group Discussion yang dilakukan
oleh peneliti dengan sejumlah anggota masyarakat.
Profil
Responden
Sampel yang digunakan dalam
penelitian ini sebanyak 254 responden yang diambil secara acak dan proporsional
mewakili tiga kelompok perilaku yang telah ditentukan sebelumnya: (1) perilaku
calon wajib pajak; (2) perilaku wajib pajak patuh; dan (3) perilaku wajib pajak
tidak patuh. Calon wajib pajak adalah mereka yang belum ber-NPWP sedangkan
wajib pajak patuh adalah wajib pajak yang patuh secara formal; wajib pajak yang
telah daftar, bayar dan lapor. Wajib pajak tidak patuh adalah wajib pajak yang
telah terdaftar tapi tidak bayar ataupun lapor. Dari 254 responden, terdapat
107 responden yang ber-NPWP, 83 responden belum ber-NPWP dan sisanya tidak
menjawab.
Dari 107 responden yang
telah ber-NPWP, 94 di antaranya pernah menyampaikan SPT, 9 responden belum pernah
menyampaikan SPT dan 4 responden tidak menjawab. Dari 94 responden yang pernah
menyampaikan SPT, 88 responden mengaku selalu menyampaikan SPT setiap tahun dan
6 responden mengaku tidak setiap tahun menyampaikan SPT. Kemudian, dari 88
responden yang setiap tahun rutin menyampaikan SPT, 87 di antaranya mengaku ada
setoran pajak dan hanya 1 responden yang mengaku tidak ada setoran pajak.
Terakhir, di antara 87 responden yang mengaku ada setoran pajak, 56 responden
melakukan setoran masa dan tahunan, 28 responden hanya melakukan setoran
tahunan dan 3 responden tidak menjawab.
Hasil
Penelitian
Ketika kepada responden
ditanyakan hal-hal umum tentang pajak (awareness),
sebagian besar (75%) responden mengaku
mengenal dan tahu pajak. Akan tetapi, ketika ditanyakan lebih lanjut soal
kepatuhan mereka dalam pelaksaaan kewajiban pajaknya, jumlah responden yang
mengaku telah melaksanakan pengisian dan penyampaian SPT tidak sebesar
responden yang mengaku kenal dan tahu pajak. Bahkan, ketika ditanyakan tentang
pelaporan penghasilan lain di luar penghasilan rutin di SPT, lebih sedikit lagi
responden yang menyatakan setuju. Dari sini dapat disimpulkan, meski masyarakat
pada umumnya tahu tentang pajak tetapi belum banyak yang tahu soal hak dan
kewajiban sebagai wajib pajak, termasuk kewajiban melaporkan penghasilan dalam
SPT. Dengan kata lain, pengetahuan dan pemahaman tentang pajak tidak serta
merta berdampak pada perilaku patuh pajak.
Beberapa hal yang mendorong seseorang
untuk patuh pajak antara lain; (1) pemahaman akan tentang manfaat pajak yang
dibayarkannya, (2) anggapan bahwa membayar pajak merupakan bentuk partisipasi
dalam membangun negara, (3) harapan bahwa dengan membayar pajak akan berimbas
pada kemajuan usaha, (4) alasan kemudahan dan pelayanan ketika berurusan dengan
kantor pajak, dan (5) alasan yang terkait dengan prinsip agama yang dianut
responden.
Terhadap responden yang
belum ber-NPWP, penelitian ini mengidentifikasi sebanyak lima belas faktor yang
membuat seseorang tidak patuh pajak (tidak mendaftar atau terdaftar tetapi
tidak bayar atau lapor). Kelima belas faktor tersebut, dengan menggunakan
analisis faktor, kemudian dikelompokkan menjadi lima aspek, yaitu (1)
kekhawatiran terhadap konsekuensi dari ketidakpatuhan, (2) adanya kendala
teknis dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan, (3) kurangnya informasi, (4)
alasan keagamaan dan nilai-nilai individu, dan (5) rasa ketidakadilan dan
harapan.
Kekhawatiran terhadap
konsekuensi antara lain dinyatakan dalam anggapan bahwa responden akan merasa
terbebani dengan pajak yang harus di tanggung setelah nanti ber-NPWP. Selain
itu, ada kekhawatiran responden terhadap pemanfaatan pajak yang dibayar.
Ketakutan bahwa pajak yang dibayar nantinya akan dikorupsi menjadi penyebab
responden enggan patuh pajak. Responden juga enggan mendaftar karena khawatir
dengan kemungkinan dikenakannya sanksi sehingga mereka berpendapat lebih tidak
mendaftar daripada setelah mendaftar kemudian dikenai sanksi. Terakhir,
termasuk dalam faktor kekhawatiran adalah responden tidak wajib memenuhi
kewajiban pajaknya karena orang lain (peer
group) juga melakukan hal yang sama dan beberapa responden menyatakan bahwa
mereka memang tidak mau patuh pajak serta merasa tidak ada manfaat yang
dirasakan.
Kendala teknis yang
dirasakan oleh responden adalah prosedur pelaksanaan kewajiban perpajakan
dirasa rumit. Faktor lain dari aspek kendala teknis adalah responden merasa
akses terhadap pelayanan perpajakan yang tidak memadai seperti lokasi pelayanan
jauh dari domisili wajib pajak.
Aspek ketiga, kurang
informasi, dinyatakan dalam anggapan responden bahwa mereka tidak tahu kalau
harus mendaftar dan ber-NPWP dan kalaupun mereka tahu harus ber-NPWP mereka
tidak paham bagaimana cara mendaftar NPWP.
Aspek alasan keagamaan dan
nilai-nilai individu responden meliputi alasan prinsip yang terkait dengan
agama yang mereka yakini. Berdasarkan pemahaman responden terhadap ajaran
agamanya, mereka merasa tidak wajib melaksanakan kewajiban perpajakan. Sementara,
beberapa responden akan melaksanakan kewajiban perpajakannya apabila dipaksa
oleh penguasa.
Aspek terakhir dari mengapa
seseorang tidak patuh pajak adalah rasa ketidakadilan dan harapan. Aspek ini
meliputi anggapan responden bahwa mereka akan merasa terdzolimi kalau pajak
yang dibayar ternyata tidak dikelola secara benar. Selain itu, termasuk dalam
aspek ini adalah responden akan melaksanakan kewajiban perpajakan kalau usaha
yang dijalaninya sudah meraih keuntungan.
Secara statistik, dari
kelima belas faktor seperti disinggung di atas, ada beberapa faktor yang
signifikan berpengaruh pada perilaku ketidakpatuhan responden. Faktor-faktor
tersebut terkait dengan masalah kepercayaan dan pengetahuan perpajakan. Faktor
yang terkait dengan masalah kepercayaan seperti responden merasa tidak
memperoleh manfaat dari pajak yang dibayarnya, kekhawatiran bahwa pajak yang
dibayar tidak dikelola dengan baik (dikorupsi). Sementara faktor yang terkait
dengan masalah pengetahuan perpajakan misalnya bahwa responden tidak tahu kalau
dia harus ber-NPWP. Atau, kalaupun tahu harus ber-NPWP, dia tidak tahu bagaimana
prosedur mendaftar NPWP. Faktor kekhawatiran bahwa akan ada sanksi yang harus
diterima setelah ber-NPWP juga menunjukkan kurangnya pengetahuan dan pemahaman
responden akan ketentuan perpajakan.
Implikasi
Kebijakan
Pertanyaan selanjutnya,
setelah adanya pemahaman terhadap faktor-faktor yang mendorong perilaku tidak
patuh pajak, apa yang dapat dilakukan DJP untuk mengurangi ketidakpatuhan?
Dari kelima aspek seperti
diuraikan di atas dapat dirangkum menjadi tiga hal yang perlu menjadi perhatian
DJP. Pertama, aspek pengetahuan dan
pemahaman. Ketidakpatuhan timbul karena kurangnya pengetahuan dan pemahaman
masyarakat akan ketentuan perpajakan, utamanya masalah hak dan kewajiban.
Kurangnya pengetahuan dan pemahaman menyebabkan pajak lebih dianggap
semata-mata sebagai kewajiban. Kurangnya pengetahuan dan pemahaman juga
berakibat pada munculnya ketakutan atau kekhawatiran yang mendemotivasi
masyarakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan.
Kedua, aspek pelayanan. Ketidakpatuhan masyarakat
dalam pelaksanaan kewajiban perpajakan akibat dari sulitnya akses pelayanan.
Jauhnya tempat pembayaran dan lokasi pelayanan membuat orang menjadi enggan
untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Ketiga,
persepsi
terhadap keadilan, yaitu keadilan dalam konteks pengelolaan uang pajak yang
diibayar oleh masyarakat; apakah uang pajak yang telah dibayarkan dikelola
dengan baik dan dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Persepsi keadilan juga
terkait dengan apakah kewajiban perpajakan sudah dilaksanakan oleh setiap orang
yang seharusnya melaksanakannya.
DJP sebagai lembaga
administrasi pajak mempunyai kendali penuh terhadap penanganan masalah dalam
dua aspek pertama; kurangnya pengetahuan dan akses terhadap pelayanan. Ke
depan, penyuluhan dan sosialisasi perpajakan sebaiknya lebih difokuskan pada
peningkatan pemahaman pada hal-hal mendasar dan filosofis dari administrasi
perpajakan: hak, kewajiban dan manfaat. Kampanye tentang hak, kewajiban dan
manfaat serta proses administrasi pajak; daftar-bayar-lapor harus dilakukan
secara lebih intensif. Pembentukan agen-agen kepatuhan perlu dilakukan untuk memperluas
jangkauan penyuluhan. Ini bisa dilakukan antara lain dengan melakukan
penyuluhan secara rutin kepada kelompok-kelompok masyarakat yang dianggap
berpengrauh pada masyarakat di sekitarnya. Terkait dengan pelayanan, DJP harus
secara konsisten melakukan upaya-upaya untuk mendekatkan pelayanan perpajakan
kepada masyarakat; seperti mobil pajak keliling, pojok pajak, call center, SMS center dan sebagainya serta pemberdayaan
KP2KP. Inovasi pelayanan perlu dirangsang agar terus tumbuh dan berkembang di
benak para pegawai, antara lain melalui penghargaan kepada pegawai yang
melakukan inovasi dan terbukti efektif dalam peningkatan pelayanan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar