#17an Merawat Potensi Pajak Sektor UMKM Melalui Kehumasan*
PEREKONOMIAN
Indonesia didominasi oleh kegiatan usaha yang berbasis pada usaha mikro, kecil
dan menengah (UMKM). Dominasi ini seharusnya juga tercermin pada penerimaan
pajak. Akan tetapi, data menunjukkan bahwa sebagian besar penerimaan pajak
didominasi oleh wajib pajak besar yang jumlahnya kurang dari 1%. Pengawasan
yang dilakukan DJP, karenanya, lebih fokus pada wajib pajak besar ini.
Pengawasan kepada pelaku UMKM belum secara optimal dilakukan. Di sisi lain,
kepatuhan pajak pelaku UMKM masih rendah. Menjadi tantangan bagi DJP, bagaimana
meningkatkan kepatuhan dan kontribusi penerimaan dari pelaku UMUKM ini. Tulisan
ini mencoba memberikan gambaran tentang terobosan yang dapat dilakukan DJP
dalam menangani UMKM.
Dalam studi tentang UMKM, selalu
dibahas bagaimana peran UMKM terhadap perekonomian secara umum. Pada umumnya,
studi tersebut menyimpulkan bahwa UMKM berperan secara signifikan pada (1)
peningkatan pertumbuhan ekonomi dan (2) penyediaan lapangan pekerjaan. Sebagai
contoh, dapat dilihat pada pertumbuhan ekonomi di Jepang dan penciptaan
lapangan pekerjaan di Amerika Serikat pasca perang dunia kedua (Partomo, 2004).
Siapakah UMKM ini? Menurut
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1995, usaha kecil adalah kegiatan ekonomi rakyat
yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp200 juta, tidak termasuk tanah
dan bangunan tempat usaha; atau memiliki hasil penjualan tahunan paling banyak
Rp1 milyar.
Di Indonesia, data statistik
menujukkan betapa signifikannya peran UMKM terhadap perekonomian nasional.
Menurut data BPS tahun 1998, dalam periode 4 tahun mulai tahun 1994, secara rerata,
lebih dari 99% jumlah pengusaha yang ada adalah pengusaha pelaku UMKM (industri
sekala kecil). Mereka menyediakan 66% lapangan pekerjaan dengan nilai produksi
mencakup lebih dari 88% dari total nilai produksi yang dihasilkan dan meliputi
hampir semua sektor usaha: sektor pertanian (57,9%), sektor industri pengolahan
(6,9%), sektor perdagangan, rumah makan dan hotel (24%) dan sisanya bergerak
dibidang lain.
Data ini semakin meningkat
setelah tahun 1998. Perkembangan pelaku UMKM pasca 1998 disebabkan sebagian
besar pelaku UMKM dapat bertahan dalam krisis ekonomi 1997-1998 dan bahkan
jumlahnya cenderung bertambah. Ada beberapa faktor yang ditengarai menyebabkan
pertambahan pelaku UMKM pasca krisis ekonomi. Partomo (2004) mengidentifikasi setidaknya
empat hal:
- produk UMKM umumnya barang konsumsi dengan elastitas permintaan terhadap pendapatan yang rendah sehingga ketika terjadi perubahan tingkat pendapatan (penurunan) akibat krisis ekonomi tidak banyak berpengaruh terhadap permintaan barang yang dihasilkan.
- sebagian besar UKM tidak mendapat modal dari bank sehingga mereka terhindar dari beban biaya bunga tinggi akibat adanya peningkatan suku bunga ketika terjadi krisis di sektor perbankan.
- hambatan keluar-masuk dalam industri yang ditekuni pelaku UMKM hampir tidak ada.
- dengan adanya krisis ekonomi menyebabkan sektor formal banyak memberhentikan pekerjanya. Para penganggur ini akhirnya memasuki sektor informal, melakukan kegiatan usaha yang umumnya berskala kecil, akibatnya jumlah pelaku UMKM meningkat.
Meski jumlah pelaku UMKM banyak dan signifikan
kontribusinya pada perekonomian nasional, pada umumnya para pelaku UMKM ini
mengalami beberapa permasalahan dalam mengembangkan usahanya. Permasalahan
tersebut biasanya terkait dengan pengelolaan usaha (manajemen), skala ekonomi
usaha, keterbatasan akses ke pasar dan modal.
Peluang dan Tantangan Perpajakan
UMKM
Melihat besarnya peran UMKM dalam
perekonomian, menarik untuk melihat bagaimana peran pelaku UMKM ini dalam
penerimaan pajak. Dengan menggunakan data statistik BPS di atas sebagai proxy, maka dapat dikatakan bahwa 99%
dari lebih kurang 20 juta wajib pajak terdaftar adalah UMKM. Namun demikian,
porsi kontribusi penerimaan pajak dari UMKM ini relatif kecil mengingat
sebagian besar penerimaan pajak didominasi dari wajib pajak besar yang
jumlahnya kurang dari 1%. Berdasarkan fakta tersebut, potensi penerimaan pajak
dari pelaku UMKM sebenarnya masih tinggi.
Namun demikian, penarikan pajak
dari sektor UMKM bukanlah satu hal yang mudah. Tidak hanya di Indonesia. Di
negara lain, baik negara maju maupun negara berkembang, sektor UMKM merupakan
salah satu sektor yang hard to control
dari sisi kepatuhan pajak. Sebuah studi tentang administrasi pajak untuk UMKM
di Amerika Latin (2005) menegaskan bahwa serangkaian strategi harus dilakukan
oleh administrasi pajak, dengan tetap mengedepankan biaya kepatuhan yang
rendah, untuk memastikan kepatuhan pelaku UMKM. Demikian juga halnya satu studi
yang dilakukan oleh Bank Dunia (2005).
Rendahnya kepatuhan pajak dari
para pelaku UMKM terkait dengan beberapa hal:
- Pelaku UMKM didominasi oleh pelaku usaha rumah tangga. Berdasarkan pengamatan, kebanyakan pelaku UMKM dari kelompok ini kurang atau tidak peduli dengan masalah ketentuan yang berlaku. Termasuk di dalamnya ketentuan perpajakan. Ketidakpedulian timbul, salah satunya, karena ketidakpahaman atas ketentuan-ketentuan yang berlaku. Pelaksanaan kewajiban perpajakan, seperti mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP, lebih banyak karena kebutuhan lain, seperti pengurusan perijinan dan urusan perbankan bukan karena kesadaran bahwa mereka harus berNPWP.
- Pelaku UMKM umumnya orang pribadi swa-usaha (self employment). Jenis pelaku usaha ini mempunyai karakteristik cenderung kurang patuh dibandingkan dengan karyawan, dimana atas penghasilan yang diperoleh telah dipotong pajak pada saat dibayarkan (witholding). Orang pribadi swa-usaha akan melaporkan seluruh penghasilan dari kegiatan usahanya dalam SPT. Namun, masih awamnya pelaku UMKM mengenai perpajakan menjadikan mereka masuk dalam kelompok tidak patuh. Selain itu, tidak adanya data lain yang ada di kantor pajak sebagai penguji penghasilan yang dilaporkan akan memberikan insentif pada wajib pajak swa-usaha untuk melaporkan penghasilan secara tidak benar.
- Pelaku UMKM biasa bergerak di sektor informal, sehingga catatan yang ada atas pelaku UMKM dan transaksi yang dilakukannya relatif tidak ada. Hal ini menimbulkan kesulitan bagi administrasi pajak untuk mengawasi kepatuhan pajak pelaku UMKM. Karena bergerak di sektor informal, ini juga menyebabkan minimnya kesadaran pelaku UMKM untuk berkontribusi pada penyediaan barang dan jasa publik yang berdampak pada rendahnya kepatuhan pajak.
Rendahnya kepatuhan pajak dari pelaku
UMKM, sementara mereka mendominasi peran dalam perekenomian menimbulkan efek
pada rasa keadilan. Pelaku UMKM yang tidak terdaftar dalam administrasi pajak,
misalnya, akan menjual barang yang sama dengan harga yang lebih rendah
dibandingkan dengan pelaku usaha lain yang terdaftar. Pelaku usaha yang
terdaftar harus memungut PPN yang akan menambah harga jual ke konsumen,
sementara pelaku usaha yang tidak terdaftar tidak harus melakukannya, untuk
barang yang sama. Di pihak laim, pelaku usaha yang terdaftar harus menyisihkan
penghasilan yang diperoleh untuk membayar PPh terutang, sementara pelaku usaha
yang tidak terdaftar dapat menikmati seluruh penghasilan yang diperolehnya.
Distorsi yang terjadi antara
pelaku usaha yang terdaftar dengan pelaku usaha yang tidak terdaftar ini, dalam
jangka panjang, akan mengurangi kemampuan pelaku usaha yang terdaftar dalam
persaingan di pasar. Distorsi juga akan menimbulkan disinsentif bagi kepatuhan
pajak pelaku usaha terdaftar. Untuk mampu bersaing dalam pasar dengan pelaku
usaha yang tidak terdaftar, mereka akan cenderung untuk menyelewengkan
kewajiban perpajakan, misalnya tidak memungut PPN atau tidak membayar pajak
terutang. Menjadi tantangan bagi administrasi pajak untuk bagaimana membuat
para pelaku usaha UMKM yang belum patuh pajak menjadi pelaku yang patuh dan
pelaku usaha yang sudah patuh untuk tetap patuh.
Kehumasan Sebagai Solusi
Penerimaan pajak yang dapat
diperoleh dari sektor UMKM cukup besar, mengingat besaran skala usaha secara
umum dari UMKM. Namun, peluang untuk merealisasikan penerimaan pajak dari
sektor UMKM akan nihil kalau DJP, sebagai lembaga administrasi pajak, tidak mampu
memahami dan, kemudian, mengatasi tantangan yang ada seperti dibahas di atas.
Bagaimana solusi untuk menghadapi tantang-tantangan tersebut? Jawaban dari
pertanyaan tersebut adalah DJP harus mampu mengajak dan membina para pelaku
UMKM agar menjadi pengusaha yang mandiri, mapan, dan tertib.
Mandiri dalam arti para pelaku
UMKM mempunyai pengetahuan dan keterampilan yang memadai yang diperlukan dalam
mengelola kegiatan usaha mereka, seperti pengetahuan tentang pengelolaan
kegiatan usaha dan keterampilan memasarkan produk-produk mereka. Untuk pelaku
UMKM yang produknya merupakan hasil dari kerja kreatif, seperti produk
kerajinan, mereka seharusnya mempunyai pengetahuan bagaimana cara melindungi
kreasi mereka dari pembajakan dan peniruan pihak lain.
Dengan bekal pengetahuan dan
keterampilan tersebut, harapannya kegiatan usaha para pelaku UMKM akan bisa
semakin berkembang dan maju. Perlindungan pada hasil karya kreatif akan
memberikan insentif kepada mereka untuk semakin mengembangkan produknya.
Sehingga, produk yang dihasilkan akan semakin bervariasi dann terbuka
peluang-peluang pasar yang baru. Apabila para pelaku UMKM dapat mencapai tahap
ini, akses ke sumber-sumber modal dengan sendirinya akan terbuka, sehingga
keluhan para pelaku UMKM soal lemahnya permodalan akan dengan sendirinya
teratasi, mengingat potensi usaha yang mereka miliki.
Tentu saja ada prasyarat sehingga
para pelaku UMKM dapat menjadi pelaku usaha yang berpengetahuan, terampil dan
mampu mengembangkan daya kreasi mereka. Di samping hal-hal seperti ketekunan,
keuletan, dan semangat berusaha, salah satu prasyarat yang penting adalah tertib administrasi. Yaitu, para pelaku UMKM
hendaknya berdisiplin dalam hal administratif, baik yang berkaitan dengan
masalah internal usaha seperti pencatatan juga dengan hal-hal yang terkait
dengan pihak luar, seperti masalah perijinan dan aturan-aturan lain. Dengan
tertib administrasi dari awal, pelaku UMKM akan terhindar dari masalah
formalitas tatkala akan mengembangkan usaha.
DJP, sebagai lembaga administrasi
pajak, mempunyai peluang untuk bergerak melakukan pemberdayaan pelaku UMKM
melalui kegiatan kehumasan. Mengapa melalui kegiatan kehumasan? Pendekatan
kepada pelaku UMKM akan lebih ‘ramah’ apabila dilakukan melalui kegiatan
kehumasan dibandingkan dengan melalui kegiatan pengawasan. Pendekatan kehumasan
akan lebih bisa diterima oleh kalangan pelaku UMKM. Melalui kegiatan kehumasan
DJP dapat melakukan kegiatan pemberdayaan UMKM dengan menfasilitasi adanya
kegiatan pelatihan, bantuan membentuk akses ke pasar, dan jika memungkinkan
bantuan akses pada permodalan.
Kegiatan pemberdayaan dapat
dilakukan, misalnya, dengan model kelompok-kelompok UMKM binaan. Pengelompokan (clustering) dapat didasarkan pada jenis
produk atau domisili. Dengan clustering,
pembinaan akan lebih mudah dilakukan karena UMKM yang ditangani relatif sama.
Kegiatan pelatihan, misalnya, akan dapat lebih fokus pada hal-hal yang secara
umum dibutuhkan oleh para pelaku UMKM. Selain itu, pembangunan akses ke pasar
juga akan lebih mudah. Sebagai contoh, untuk pelaku UMKM yang bergerak di
sektor kerajinan, kepada mereka dapat dibuatkan website untuk menawarkan produk mereka lewat Internet. Dimana di dalam website
dapat ditampilkan gambar-gambar produk serta alamat yang dapat dihubungi oleh
calon pembeli.
Bagi pelaku UMKM, pajak masih
dilihat sebagai beban, yang sebisa mungkin harus dihindari. Oleh karenanya,
kegiatan pemberdayaan tidak efektif apabila hanya dilakukan oleh DJP. Untuk
mengurangi penolakan dari pelaku UMKM, DJP perlu melibatkan berbagai unsur di
masyarakat dalam kegiatan pemberdayaan ini. Misalnya, dengan melibatkan
instansi pemerintah yang lain, organisasi kemasyarakatan, organisasi keagamaan,
Lembaga Swadaya Masyarakat dan sebagainya. Keterlibatan elemen-elemen
masyarakat yang lebih mudah diterima oleh masyarakat akan menjadikan kegiatan
bisa berjalan lebih efektif.
Dengan kegiatan-kegiatan pemberdayaan
UMKM seperti ini, diharapkan timbul kesadaran di kalangan pelaku UMKM, bahwa
mereka diperhatikan. Dalam jangka panjang, kegiatan seperti ini akan dapat
menumbuhkan ikatan emosional yang akan berdampak positif pada perilaku
kepatuhan pajak.
Daftar Bacaan
1. Partomo, Tiktik
Sartika, Usaha kecil menengah dan
Koperasi, Working Paper Series No. 9, Center For Industry and SME Study,
Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Juni 2004.
2. http://www.sept.uni-leipzig.de/fileadmin/sept/media/Workshops/1st_International_SEPNeTWorkshop/Presentation_Rahman.pdf
2. http://www.sept.uni-leipzig.de/fileadmin/sept/media/Workshops/1st_International_SEPNeTWorkshop/Presentation_Rahman.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar