Dari ke-4 tahap siklus administrasi pajak, daftar, hitung, bayar dan lapor, barang kali membayar pajak terutang yang paling berat dilakukan oleh wajib pajak. Betapa tidak, pembayaran pajak adalah murni duit keluar. Artinya, kita tidak bisa berharap akan dapat imbalan langsung dari pembayaran pajak kita tersebut. Memang, dengan bayar pajak mestinya kita dapat memperoleh fasilitas layanan publik yang baik seperti jalanan yang mulus, sekolah gratis dengan kualitas memadai, layanan kesehatan yg mumpuni dsb.
Masalahnya, di negara kita kondisi ideal seperti itu belum bisa kita nikmati. Ada banyak hal yang menyebabkan kondisi demikian. Salah satunya, politik anggaran kita. Kalau kita lihat sisi pengeluaran di APBN kita, lebih besar porsi pengeluaran untuk hal-hal yang sifatnya konsumtif, seperti gaji PNS, honor, belanja barang dan jasa non infrastruktur. Pengeluaran yang demikian minim nilai tambah dan kurang dampaknya pada ekonomi secara keseluruhan. Coba kalau belanja modal infrastruktur menjadi pengeluaran dominan, saya yakin efeknya akan jauh lebih dahsyat.
Balik ke masalah bayar pajak. Ada dua jenis pembayaran pajak, atau biasa juga disebut setoran, yaitu (1) setoran masa, bulanan, dan (2) setoran tahunan. Setoran masa dilakukan dalam basis bulanan. Ini menjadi kewajiban wajib pajak yang mempunyai kewajiban pemotongan Pajak Pnghasilan (PPh) dan pemungutan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pemotongan PPh dilakukan apabila wajib pajak tersebut melakukan pembayaran kepada vendor termasuk di dalamnya pegawai atau karyawan. Atas setiap penghasilan yang diberikan kepada karyawan, wajib pajak yang membayarkan tersebut harus memotong PPh, namanya PPh Pasal 21.
Contoh, Anda seorang pengusaha rumah makan yang cukup laris di Jakarta. Untuk menjalankan usaha tsb Anda mempunyai beberapa pegawai; tukang masak, pelayan, kasir dsb. Setiap bulan Anda menggaji pegawai-pegawai tersebut. Nah, atas setiap gaji yang Anda bayarkan ini, Anda mempunyai kewajiban untuk memotong PPh-nya. Setelah dipotong, kemudian dikumpulin dari setiap pemotongan untuk masing-masing pegawai baru kemudian disetor ke bank. Penyetoran ini paling lambat harus dilakukan pada tanggal 10 bulan berikutnya. Misalnya Anda memotong PPh atas gaji bulan Oktober, maka potongan pajak tersebut harus disetor ke bank paling lambat tanggal 10 bulan Nopember. Ingat, bayarnya ke bank bukan ke kantor pajak. Dan juga harap diingat bahwa dalam kasus ini, yang harus Anda setor adalah bukan uang Anda, tetapi uang pajak dari pegawai-pegawai Anda, jadi nggak perlu merasa sayang-sayang....
Contoh lain setoran masa adalah PPh Pasal 25. Ini adalah angsuran PPh Anda untuk satu tahun pajak. Jadi, aturan kita menghendaki agar wajib pajak mengangsur pajak yg kira-kira akan dibayar dalam satu tahun pajak secara bulanan. Apabila ternyata jumlah angsuran bulanan ini nanti lebih kecil dari jumlah pajak yang seharusnya Anda bayar, maka Anda diharuskan menambah kekurangan tersebut. Setoran yang terkahir ini yang disebut dengan setoran tahunan. Berbeda dengan PPh Pasal 21 di atas, PPh Pasal 25 ini paling lambat harus dibayar pada tanggal 15 bulan berikutnya. Juga harus diingat, bayarnya harus di bank bukan di kantor pajak!
Pertanyaannya, kalau Anda telat membayar PPh Pasal 21 dan PPh Pasal 25 atau setoran tahunan (disebut dengan PPh Pasal 29), konsekuensi apa yang kira-kira akan Anda hadapi?
Keterlambatan pembayaran akan membuat Anda dikenai sanksi sebesar 2% per bulan. Makanya batas waktu pembayaran seperti tersebut di atas perlu dicermati. Kalau kebetulan tanggal 10 atau 15 jatuh di hari libur, gimana tuh? Tenang aja, aturannya bilang, kalau tanggal jatuh tempo pembayaran jatuh pada hari libur, misalnya hari Minggu, maka batas waktu pembayaran akan mundur sehari, menjadi hari Senin pada kasus kita ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar