21 Maret 2012

#17an Pajak Dan Kedaulatan (Rakyat) Kita*

Menjelang tanggal 31 Maret 2012, jatuh tempo pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) semakin dekat. Di loket Tempat Pelayanan Terpadu (TPT) yang berada di berbagai Kantor Pelayanan Pajak Pratama (KPP), juga di berbagai lokasi drop box SPT Tahunan, semakin terlihat kerumunan wajib pajak yang antri untuk lapor SPT. Pemandangan ini tentu saja menggembirakan, paling tidak, hal ini dapat menjadi petunjuk semakin tumbuhnya kesadaran dan kepatuhan pajak masyarakat kita. Tetapi, tidak dapat dipungkiri, di bagian kelompok lain di masyarakat kita masih terasa adanya keengganan untuk melaporkan SPT. Dengan berbagai alasannya; repot, sibuk dan menyita waktu. Belum lagi alasan ketiadaan dokumen yang diperlukan dalam mengisi SPT, kerepotan mengumpulkan dokumen yang tercecer dan sebagainya. Pertanyaannya, apakah pemenuhan kewajiban perpajakan, seperti pelaporan SPT Tahunan, demikian menyusahkannya, hatta banyak anggota masyarakat akhirnya memilih untuk tidak melaksanakannya?

Pertanyaan di atas dapat dijawab melalui dua sisi: (1) sisi ketentuan perpajakan, dan (2) sisi pelayanan perpajakan. Dari sisi ketentuan, Undang-undang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan (KUP) mengisyarakan bahwa setiap wajib pajak hendaknya menyelenggarakan pencatatan. Minimal pencatatan tentang penghasilan. Termasuk dalam kegiatan menyelenggarakan pencatatan adalah menyimpan dan mengadministrasikan dokumen yang menjadi sumber pencatatan. Jadi, kalau setiap wajib pajak memenuhi apa yang diisyaratkan KUP tentunya berbagai alasan terkait ketiadaan dokumen pendukung pengisian SPT tidak perlu ada. Dari sisi pelayanan, dewasa ini Ditjen Pajak telah melakukan berbagai inovasi untuk memberikan kemudahan pelayanan bagi wajib pajak, khususnya yang berkaitan dengan penyampaian SPT Tahunan. Antara lain, adanya fasilitas drop box yang memungkinkan wajib pajak dengan kriteria SPT tertentu—status nihil atau kurang bayar, dan bukan SPT Pembetulan—dapat menyampaikan SPT-nya di mana saja. Tidak harus mendatangi KPP tempat dia terdaftar. Penyampaian SPT dapat juga dilakukan melalui Internet menggunakan aplikasi e-filing. Untuk ini, wajib pajak perlu mendaftar untuk memperoleh eFIN, kode identitas pelaporan SPT lewat Internet di KPP terdekat. Dengan kemudahan ini, alasan pelaporan SPT merepotkan sepertinya menjadi tidak relevan.

Lebih dari kedua alasan tadi, pelaporan pajak semestinya tidak dipandang sebagai sesuatu yang memberatkan jika kita pahami makna pelaksanaan kewajiban perpajakan yang kita laksanakan. Secara teori maupun ketentuan, pajak merupakan pungutan yang dikenakan negara kepada warganya tanpa disertai dengan balasan langsung layaknya kita jual beli barang di pasar. Pajak yang kita bayar akan dikembalikan kepada kita melalui penyediaan barang dan jasa publik seperti jalan, fasilitas pendidikan dan kesehatan, serta jaminan keamanan dan ketertiban. Adakalanya, meski kita bayar pajak tapi kita tidak ikut menikmati fasilitas layanan kesehatan publik karena kebetulan kita selalu sehat atau tidak ikut menikmati fasilitas pendidikan publik karena tidak ada anggota keluarga kita yang berada di usia sekolah. Artinya, pajak yang kita bayar akan dinikmati oleh warga negara yang lain yang kebetulan memerlukannya. Demikian juga sebaliknya, pajak yang kita bayar tentunya tidak cukup untuk menyediakan jalan raya yang setiap hari kita lewati, tetapi toh jalan tersebut bisa kita nikmati karena pajak yang dibayar warga negara yang lain.


Kita bisa bayangkan bagaimana situasinya kalau setiap warga negara, yang telah memenuhi syarat sebagai wajib pajak, melaksanakan kewajiban perpajakannya secara benar. Kualitas dan kuantitas barang dan jasa publik yang tersedia tentunya akan sangat memadai dalam menunjang aktivitas kita sehari-hari. Paling penting, dengan pajak yang kita bayar kita mempunyai hak untuk ikut serta mengontrol penyelenggara negara.Bagaimanapun dengan pajak yang kita bayarlah, penyelenggaraan negara ini dapat terlaksana. Dengan kata lain, melalui pajak yang kita bayar kita seharusnya dapat benar-benar berdaulat atas penyelenggaraan kehidupan bernegara. Jadi, bagaimana mungkin kita enggan dan malas melaksanakan kewajiban perpajakan kalau ini dapat kita maknai sebagai wujud dari kedaulatan kita dalam kehidupan bernegara?

*ditulis bersama Icuk R. Bawono (Tax Center Unsoed) dan dimuat di Harian Bisnis Indonesia, halaman Jateng & DIY, tanggal 21 Maret 2012


Tidak ada komentar: