29 Maret 2010

My Name’s Gayus and I’m Not A Markus


Berita tentang Gayus, tersangka makelar kasus pajak, banyak mengisi ruang berita baik media massa cetak maupun elektronik hari-hari terakhir ini. Bahkan di situs jejaring sosial Facebook, muncul gerakan Boikot Bayar Pajak dan macam-macam gerakan tandingan. Satu hal yang saya baca, ada sedikit kesalahpahaman, dimana orang mengira Si Gayus ini menilap uang pajak yang dibayarkan wajib pajak. How Come? Apa iya, Si Gayus menilep uang pajak yang dibayarkan wajib pajak? Saya akan coba menggambarkan proses administrasi pajak dalam sistem perpajakan kita. Dari situ, akan saya jelaskan potential risk, kira-kira dimana penyelewengan bisa dilakukan. Harapannya, dengan gambaran ini Anda, para pembaca yang budiman, akan memiliki perspektif baru tentang kasus Si Gayus ini.

Proses Administrasi Pajak Di Kantor Pajak

Kantor pajak di Indonesia, secara umum ada tiga macam; (1) Kantor Pusat Direktorat Jenderal Pajak (KPDJP), (2) Kantor Wilayah (Kanwil) dan (3) Kantor Pelayanan Pajak (KPP). Yang membedakan dari ketiga macam kantor ini adalah wewenang dan wilayah yang menjadi tanggung jawabnya. KPDJP lebih sebagai pembuat kebijakan dan tidak menjalankan hal-hal teknis perpajakan yang berhubungan langsung dengan wajib pajak, kecuali untuk masalah keberatan dengan kriteria tertentu dan banding serta pemeriksaan dan penyidikan. Wilayah kerjanya jelas meliputi seluruh Indonesia. Sedangkan Kanwil, bertindak sebagai koordinator dan merupakan kepanjangan tangan KPDJP untuk wilayah-wilayah tertentu atau untuk jenis wajib pajak tertentu. Saat ini, kalau tidak salah, ada 31 Kantor Wilayah di seluruh Indonesia. Wewenang Kanwil yang berhubungan langsung dengan wajib pajak antara lain penanganan keberatan wajib pajak dan pemeriksaan Bukti Permulaan dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Semua permohonan keberatan wajib pajak di bawah besaran tertentu menjadi wewewnang Kanwil. Sedangkan permohonan keberatan dengan nilai sengketa di atas besaran tertentu tadi akan menjadi wewenang KPDJP. Jenis kantor ketiga, KPP, merupakan ujung tombak dari DJP yang akan selalu berhubungan langsung dengan wajib pajak. Maka, dibandingkan dengan pegawai di KPDJP dan pegawai Kanwil, pegawai pajak yang berdinas di KPP akan lebih sering ketemu dengan wajib pajak. Interaksi apa saja yang terjadi antara KPP dengan wajib pajak?

Interaksi KPP dengan wajib pajak terjadi hampir disemua seksi yang ada di KPP. Satu KPP setidaknya akan terdiri dari seksi-seksi seperti: seksi pelayanan, seksi pengawasan, seksi pemeriksaan dan seksi penagihan. Seksi-seksi ini menggambarkan urutan interaksi antara wajib pajak dengan KPP.

Interaksi antara wajib pajak dengan KPP akan selalu dimulai di seksi palayanan. Seksi inilah yang bertanggung jawab terlaksananya Tempat Peyanan Terpadu (TPT). TPT merupakan counter di mana wajib pajak menyampaikan segala jenis surat menyurat, mulai dari permohonan pendaftaran untuk menjadi wajib pajak, yaitu permohonan untuk memperoleh NPWP hingga pelaporan pajak (penyampaian SPT) dan permohonan keberatan apabila ada sengketa pajak dan surat-surat lainnya. Satu hal yang perlu digarisbawahi adalah, KPP dan kantor pajak lainnya tidak menerima uang pajak yang dibayarkan oleh wajib pajak. KPP hanya menerima pelaporan pembayaran pajak yang dilakukan wajib pajak. Pembayaran pajak sendiri dilakukan oleh wajib pajak di bank atau kantor pos. Dengan demikian uang pajak yang dibayar oleh wajib pajak langsung masuk ke rekening kas negara langsung dari bank atau kantor pos penerima pembayaran pajak tanpa melalui KPP. KPP hanya memiliki data pembayaran tersebut!

Interaksi berikutnya antara wajib pajak dengan KPP terjadi di seksi pengawasan dan konsultasi. Petugas pajak yang berada di seksi ini disebut dengan Account Representative (AR). Seksi Pengawasan ini dikepalai oleh seorang Kepala Seksi dan terdiri dari beberapa AR. Setiap wajib pajak pasti ditangani oleh satu orang AR. Selain melakukan pekerjaan pengawasan, seorang AR juga betanggung jawab untuk mengerjakan setiap permohonan yang disampaikan oleh wajib pajak. AR juga merupakan pihak dimana wajib pajak dapat menyampaikan permasalahan perpajakannya dan, mungkin, memperoleh jawaban atas permasalahan tersebut. Dibandingkan dengan pegawai pajak lainnya, AR-lah pegawai yang tingkat interaksinya dengan wajib pajak paling intens. Dan, semua wajib pajak yang aktif menjalankan kewajiban pajaknya pasti berinteraski dengan AR-nya.

Kelompok pegawai pajak lainnya yang sering melakukan interaksi dengan wajib pajak adalah pemeriksa pajak. Dalam sistim administrasi pajak di Indonesia, pemeriksa pajaklah, satu-satunya pihak yang berwenang melakukan pemeriksaan pajak. Pemeriksa pajak terdapat disetiap KPP, Kanwil dan KPDJP. Perbedaan pemeriksa pajak di KPP, Kanwil, dan KPDJP adalah cakupan wilayah penugasan dan sifat pemeriksaaan itu sendiri. Pemeriksa KPP hanya mempunyai wewenang melakukan pemeriksaan wajib pajak yang terdaftar di KPP yang bersangkutan. Pemeriksa Kanwil mempunuai wewenang untuk memeriksa wajib pajakyang terdaftar di KPP-KPP yang berada dalam wilayah Kanwil yang bersangkutan. Sementara pemeriksa pajak di KPDJP mempunyai wewenang untuk memeriksa wajib pajak di seluruh Indonesia. Dari sisi penugasan, pemeriksa di Kanwil melakukan pemeriksaan yang disebut pemeriksaan Bukti Permulaan untuk mengetahui apakah terdapat cukup bukti adanya tindak pidana di bidang perpajakan. Sedangkan pemeriksa pajak di KPP melakukan pemeriksaan pajak untuk melakukan penetapan jumlah pajak terutang dan pemeriksaan dengan tujuan lain seperti penghapusan NPWP. Pemeriksa kantor pusat dapat melakukan keduanya, hanya pemeriksaan bukti permulaan dilakukan oleh pemeriksa pajak yang juga menjadi penyidik.

Kelompok pegawai pajak berikutnya yang biasa berinteraksi dengan wajib pajak adalah juru sita. Juru sita terdapat di setiap KPP dan bertugas menangani wajib pajak yang mempunyai tunggakan pajak, pajak terutang yang belum dibayar oleh wajib pajak. Dalam praktiknya, tidak semua wajib pajak berinteraksi dengan juru sita. Wajib pajak yang berinteraksi dengan juru sita adalah mereka yang menunggak pembayaran pajak. Ada pegawai lain yang juga berinteraksi dengan wajib pajak tetapi dengan tingkat yang lebih rendah, yaitu petugas ekstensifikasi dan penilai. Petugas ekstensifikasi bertugas untuk mendaftar calon wajib pajak sedangkan penilai bertugas melaukan penilaian tanah dang bangunan dalam kaitannya dengan PBB.

Proses Keberatan/banding

Keberatan merupakan satu proses sengketa antara wajib pajak dengan kantor pajak. Sengketa ini timbul, biasanya karena adanya penetapan pajak yang dilakukan oleh kantor pajak melalui proses pemeriksaan. Apabila wajib pajak merasa ketetapan hasil pemeriksaan tidak sesuai dengan kondisi wajib pajak, maka wajib pajak dapat mengajukan keberatan atas ketetapan tersebut. Permohonan keberatan diajukan melalui KPP. Akan tetapi proses penyelesaian keberatan tidak dilakukan di KPP melainkan di Kanwil atau di KPDJP. Penentuan unit yang akan menyelesaikan keberatan wajib pajak didasarkan pada besaran ketetapan yang diajukan keberatan. KPDJP akan memproses keberatan atas ketetapan yang lebih besar nilainya dibandingkan Kanwil. Hasil akhir dari proses keberatan adalah 'Keputusan Keberatan'.

Atas Keputusan Keberatan ini, apabila tidak puas, wajib pajak dapat mengajukan banding kepada Pengadilan Pajak. Keputusan Pengadilan Pajak inilah yang akan menjadi keputusan final atas sengketa tersebut. Secara organisasai, Pengadilan Pajak merupakan unit kerja yang berada di luar strutur DJP, meskipun masih dalam lingkup Kementrian Keuangan.

Pegawai pajak yang menangani permohonan keberatan dan banding wajib pajak, disebut dengan Penelaah Keberatan (PK). PK inilah yang bertanggung jawab untuk memproses keberatan wajib pajak dan mewakili DJP dalam sidang-sdang yang diselenggarakan di Pengadilan Pajak. Dengan demikian, seorang PK juga akan berinteraksi dengan wajib pajak, yaitu wajib pajak yang mengajukan keberatan dan/atau banding. Pekerjaan PK diawasi oleh seorang Kepala Seksi Keberatan, dan Kepala Bidang/Kepal Subdit Keberatan yang melakukan quality assurance terhadap pekerjaan PK

Potensi Terjadinya Penyelewengan

Dari uraian tentang proses administrasi pajak dan proses keberatan/banding di atas, kita dapat membaca bahwa dalam setiap proses interaksi antara wajib pajak dengan pegawai pajak bisa jadi terdapat potensi untuk terjadinya penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang. Risiko terjadinya penyelewengan tentunya berbeda-beda untuk setiap posisi pegawai pajak, sesuai dengan tingkat intensitas interaksi. Misalnya, risiko penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang untuk pegawai di TPT akan berbeda dengan risiko AR, pemeriksa dan PK.

Selain itu, risiko penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang juga berbeda tergantung dari sifat interaksi. Dalam interaksi dengan AR, misalnya, wajib pajak lebih banyak bertindak sebagai pihak yang dilayani dan sekaligus diawasi. Sedangkan dalam interaksinya dengan pemeriksa, wajib pajak adalah pihak terperiksa. Dengan adanya wewenang pemeriksa pajak untuk melakukan penetapan pajak terutang, wewenang yang tidak dimiliki oleh AR, maka posisi wajib pajak didalam berinteraksi dengan pemeriksa berbeda dengan pada saat wajib pajak berinteraksi dengan AR.

Bagaimana dengan Gayus? Gayus seperti diberitakan di media massa merupakan pegawai pajak yang bekerja di Direktorat Keberatan dan Banding. Besar kemungkinan Gayus ini adalah seorang PK. Nah, melihat posisinya, modus penyelewengan yang dilakukan oleh Gayus mungkin terkait dengan penyelesaian proses keberatan atau banding. Potensi penyelewengan juga terdapat di dalam penyelesaian keberatan dan banding karena di sana juga terdapat interaksi antara wajib pajak dengan pegawai pajak, PK dan pejabat di atasnya.

Dalam kaitannya dengan penanganan banding, permohonan banding wajib pajak diproses di Pengadilan Pajak. Satu institusi yang berada di luar kendali DJP. Pada proses banding, paling tidak ada tiga pihak yang saling berinteraksi, yaitu (1) wajib pajak pemohon banding [dalam hal ini dapat diwakili oleh konsultan bersertifikat], (2) DJP, dan (3) hakim Pengadilan Pajak. Dalam sengketa bading yang ditangani oleh Pengadilan Pajak, biasanya pihak Pengadilan Pajak, berdasarkan permohonan banding wajib pajak, meminta secara tertulis kepada DJP untuk melakukan tanggapan atas permohonan banding. Di sinilah PK seperti Gayus berperan untuk membuat uraian banding, yaitu dokumen resmi DJP dalam menanggapi permohonan banding wajib pajak. PK dan pejabat di atasnya, juga berperan sebagai wakil DJP dalam sidang-sidang di Pengadilan Pajak. Dapat dikatakan, posisi DJP dalam sidang banding di Pengadilan Pajak sangat ditentukan oleh peran PK dan atasannya yang ditunjuk untuk menjadi wakil DJP. Menang-kalahnya DJP di persidangan Pengadilan Pajak amat sangat ditentukan oleh bagaimana kualitas uraian banding yang dibuat oleh PK dan kehadiran serta argumentasi yang mereka ajukan dalam proses sidang. Mungkin, di area inilah Si Gayus ini bermain, Allahu'alam bishawwab.

Satu hal yang perlu digarisbawahi, keputusan Pengadilan Pajak sifatnya final dan mengikat. Upaya hukum yang bisa diajukan apabila terjadi ketidakpuasan pihak-pihak yang bersengketa adalah Peninjauan Kembali (PK) ke Mahkamah Agung. Untuk dapat mengajukan permohonan banding, wajib pajak diharuskan membayar 50% nilai ketetapan pajak yang disengketakan. Apabila Pengadilan Pajak sudah memberikan keputusan atas satu sengketa, maka keputusan itu akan mengikat baik wajib pajak ataupun DJP. Dalam arti, apabila keputusan Pengadilan Pajak memenangkan wajib pajak maka, DJP harus mengembalikan pajak yang dalam sengketa yang telah disetor ditambah Imbalan Bunga sebesar 2% per bulan terhitung dari tanggal dibayarkan oleh wajib pajak hingga tanggal keputusan Pengadilan Pajak. Demikian juga sebaliknya, apabila DJP dimenangkan, wajib pajak harus melunasi sisa utang pajak yang disengketakan, dalam hal wajib pajak belum membayar penuh ketetapan pajak.

DJP sendiri menyadari betul risiko adanya penyelewengan dan penyalahgunaan wewenang ini. Makanya, perangkat pengawasan kinerja pegawai DJP juga dibuat sedemikian rupa, yaitu melalui Unit Kepatuhan Internal dan Pengawasan oleh Inspektorat Jenderal. Juga berbagai fitur yang dikembangkan dalam sistim administrasi pajak modern, seperti pembakuan SOP, penerapan kode etik, penegakan hukuman disiplin dan sebagainya. Bagaimanapun, keberhasilan suatu sistim akan sangat tergantung pada bagaimana kualitas SDM yang berada di dalam sistim tersebut.

Munculnya kasus Gayus ini paling tidak memberikan pelajaran bahwa sistim yang sudah dibangun oleh DJP masih perlu penyempurnaan, entah itu di dalam pembentukan built in control yang mampu mencegah terjadinya penyelewengan, pengembangan kompetensi dan attitude pegawai pajak ataupun penciptaan lingkungan kerja yang mampu mencegah terjadinya KKN. Juga, kesadaran kita para wajib pajak untuk menghindari terjadinya praktik-praktik penyelewengan. Karena bagaimanapun, penyelewengan tidak akan terjadi apabila tidak ada kesepakatan antara dua pihak.

1 komentar:

Anung Andang Wiratama mengatakan...

Pak, judulnya sangat provokatif sekaligus kontekstual. Salut.