Minggu, 28 Juni 2009. Sungguh hari yang menyajikan dinamika perasaan bagi saya. Di pagi hari, saya diliputi kelegaan karena dua anak saya dinyatakan naik kelas sehari sebelumnya. Lega menengok pengalaman lima bulan sebelumnya, kedua anak saya lagi doyan main dan malas belajar. Siangnya, rasa sumpek mulai datang ketika anak-anak mulai cerewet menagih janji saya untuk bawa mereka main layang-layang ke monas. Saya, dihinggapi rasa malas keluar rumah luar biasa siang itu. Tapi, akhirnya jam 14.30 siang pergi juga ke monas dengan perubahan rencana, lihat karnaval ulang tahun Jakarta. Kegairahan pergi ramai-ramai bersama keluarga naik busway, ternyata memberikan kenikmatan tersendiri. Sesampainya di monas pukul 15.30, suasana begitu hirukpikuk. Ribuan manusia, tumpek blek di sekitaran monas melihat pawai dimulai. Termasuk diantaranya saya, yang akhirnya merasa keletihan yang luar biasa setelah hampir 2 jam berdiri menggendong anak ketiga saya! Balik ke rumah, ngidupin TV, lihat pertandingan bola, kebetulan ada dua siaran langsung pertandingan bola: final Coppa Indonesia di Palembang dan perebutan tempat ketiga Confederation Cup di Rustenburg, Afrika Selatan. Dua pertandingan di dua belahan bumi yang berbeda dengan situasi yang serupa, tapi cara penyelesaian yang sama sekali berbeda, yang akhirnya menimbulkan kegelian pada diri saya.
Pertandingan antara Siriwijaya FC vs. Persipura sebenarnya berlangusng menarik. Serangan bergantian dilakukan oleh kedua tim meski sampai berakhirnya babak pertama kedudukan imbang 0-0. Drama terjadi ketika pertandingan memasuki pertengahan babak kedua, ketika Persipura sudah dalam posisi ketinggalan 1-0. Waktu itu, Boaz yang tengah menguasai bola di sisi kanan gawang dalam kotak penalti Sriwijaya FC dan terjatuh ketika penjaga gawang Sriwijaya Ferry melakukan terkaman ke arah kaki Boaz. Bola muntah dan jatuh ke kaki pemain Persipura lainnya, lalu... shoott! Bola dengan deras menuju ke arah tiang dekat gawang Ferry. Beruntung, ada seorang pemain Sriwijaya FC yang berhasil menghalau bola. Di sini masalahnya, pemain Sriwijaya FC menghalau bola dengan tangan kanannya (entah sengaja atau tidak), tapi wasit tidak menyatakan hal itu sebagai hand's ball. Karuan saja, pemain Persipura melakukan protes. Tak ketinggalan para pengurus Perpsiura yang berdiri di bench, di pinggir lapangan. Sampai-sampai mereka memutuskan untuk walk out dan tidak mau meneruskan pertandingan..., too bad!
Di Rustenburg, di waktu yang hampir bersamaan, situasi serupa juga terjadi. Spanyol, sang juara Eropa, diluar dugaan, mengalami kesulitan yang amat sangat, ketika berhadapan dengan tuan rumah Afrika Selatan, tim yang pada babak penyisihan berhasil mereka tekuk 0-2. Alih-alih, Spanyol ketinggalam setelah pada menit ke-75 Mphesala (bener gak nulisnya yak) menggetarkan gawang Casillas. Dalam ketertinggalan Spanyo berusaha keras untuk menyamakan kedudukan, sampailah kejadian di menit awal 80-an, ketika LLorente menerima umpan lambung dari Arbeloa. Sundulan Llorente, berhasil dihalau oleh seorang pemain Afrika Selatan, tapi kali ini juga dengan tangan kiri sang pemain tuan rumah. Kontan, para pemain Spanyol melakukan protes, demikian juga halnya para crew di bench, mengharapkan wasit memberikan penalti kepada Spanyol. Tapi apa lacur, wasit yang berada tak jauh dari tempat kejadian ternyata tak melihat itu sebagai hand's ball dan pertandingan tetap dilanjutkan. Sampai akhir babak perpanjangan waktu Spanyol akhirnya unggul 2-3.
Nah, jadi pertanyaan saya, mungkin juga bagi jutaan pemirsa dan penggemar bola. Dalam menghadapi situasi yang sama mengapa sikap anggota klub Persipura dan Timnas Spanyol begitu berbeda?
Jawabannya, seperti seorang teman pernah kirim imel, bahwa dalam menghadapi satu masalah, pertanyaan pertama yang muncul dibenak kita akan menentukan arah penyelesaiannya. Pertanyaan, mengapa masalah ini bisa terjadi menimpa diri kita, misalnya, akan membawa kita untuk lebih banyak mencari-cari kesalahan orang lain. Tapi, pertanyaan, seperti bagaimana mengatasi permasalahan ini, akan cenderung lebih konstruktif dalam membantu kita mencari bentuk-bentuk solusi. Mungkin, ketika melihat kenyataan bahwa mereka dirugikan oleh keputusan wasit, kubu Persipura bertanya-tanya, apakah wasiti bertindak tidak adil karena pertandingan berlangsung di kandang Sriwijaya FC? Dengan pertanyaan model begini, tak pelak, dengan dibumbui emosi yang meninggi, muncullah keputusan untuk walk out. Lain soal, kalau yang muncul di benak Persipura, bagaimana caranya mengatasi ketertinggalan 0-1, pola bermain kayak mana yang musti dimainkan, teknik sepak bola macam apa yang perlu dilakukan untuk meredam perlawanan Sriwijaya FC? Dan mungkin, pertanyaan-pertanyaan inilah yang muncul di benak anggota Timnas Spanyol ketika dalam posisi tertinggal 1-0 dari tuan rumah dan keuntungan tidak diberikan oleh wasit ketika ada pemain Afrika Selatan yang menyentuh bola dengan tangannya di dalam kotak penalti. Dan mereka, lebih memutuskan untuk meneruskan bermain dengan baik dan kahirnya menang!
Sungguh, pertanyaan pertama yang muncul di benak kita, akan menentukan arah solusi yang akan kita mainkan dalam menghadapi masalah. Dunia sepak bola, setidaknya di pertandingan Confederation Cup, telah memberikan contoh yang baik. Bagaimana kita?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar